19

7 1 0
                                    

Selamat malam readers! Maaf kelamaan update. Sengaja sih mau lihat perkembangan pembacanya bertambah ata gak hehehe. Becanda kok.. Selamat membaca!

##

​"jadi selama ini kalian tidak pernah berpacaran?" Tanya calissa.

​ Aku menggeleng

​"astagah! Selama ini, aku mengira bahwa kalian menjalin hubungan spesial" katanya menepuk jidat.

​Aku tersenyum. "itu tidak benar. "hanya aku yang menyimpan rasa padanya, dan dia, mungkin hanya ibah padaku. Makanya ia menolongku untuk bangkit kembali dari kematian ibu."

​"aku tidak menyangka hal itu" calissa tertegun, menatapku penuh makna.

##

​Aku telah bersumpah sebelum berada di sini. Menatap bangunan tinggi nan menawan. Universitas ternama di Eropa. Tak sekalipun aku berpikir untuk meninggalkan kota ini setelah perpindahanku beberapa bulan yang lalu. Masih dengan perasaan yang sama dan luka yang ku bawa pergi bersamaku. Kematian ibu, kematian ayah, dan kepergian Vincent yang membuatku ingin mengakhiri hidup ini secepat mungkin. Aku meninggalkan Bi ijah hidup bersama kolega ayah yang lainnya. Aku menyerahkan sepenuhnya hak dan harta warisan yang ditinggalkan ayah untukku. Mereka lebih pantas mendapatkannya daripada diriku sendiri. Aku lebih memilih untuk membiayai hidup sendiri di kota yang baru ini. Berharap kesialan yang menimpaku bertubi-tubi tak ikut pindah bersamaku meniggalkan kota yang menyisakan kenangan piluh. Aku tak akan pernah kembali ke kota itu. Meskipun harus merelakan kenangan indah bersama mereka serta 3 kenangan piluh sekaligus. Gubukan tanah, gubukan tanah, dan kata selamat tinggal. Semua itu sudah cukup! Aku berusaha memperbaiki diri saat ini agar bisa mencegah kemungkinan buruk lainnya tak terjadi lagi padaku.

​Kedokteran – ahli bedah. Sekolah SMA ku yang memilihkannya. Beruntungnya aku bisa lolos dari banyaknya pesaing yang (aku menyebut mereka) berotak 3, cemerlang atau bahkan genius. Kita lihat saja apakah aku mampu memulai hidup baru di kota ini. Beruntungnya lagi aku mendapat beasiswa yang disediakan oleh pemerintah.

​Terlepas dari semua keberuntungan dan kisah piluh itu, entah mengapa aku memikirkan sesuatu yang teramat penting dalam hidupku. Sudah sangat lama aku mencari selebaran itu entah dimana keberadaannya. Rahasia terbesar dalam hidupku. Hanya aku yang mengetahui hal itu. Bahkan Vincent yang mampu membaca pikiranku saja tak mampu membongkar yang satu itu. Aku bisa saja terancam jika seseorang mengetahuinya, walaupun jika itu Vincent yang sangat aku cintai sekaligus.

​Hari berlalu sangatlah cepat. Ini adalah tahun ke-empat setelah perpindahanku dari kota sebelumnya. Tapi tetap luka ini tak bisa sembuh seiring berjalannya waktu. Yaa.. Aku paham betul, bahwa bukan soal waktu yang akan menyembuhkan luka ini melainkan soal rasa keikhlasan. Beberapa kata itu memang benar, bahwa Hidup ini indah bukan karena soal apa melainkan karena soal keikhlasan menerima apa yang menimpamu dalam hidup ini. Merelakan apapun yang direnggut oleh siapapun itu termasuk sang pencipta yang memberikan kehidupan ini.

​Aku berjalan menyusuri kota yang semakin ramai dikunjungi para wisatawan manca Negara maupun lokal. Berharap yang aku alami barusan hanyalah sebuah khayalan buruk yang melintas sejenak.

​Aku melihat Vincent berjalan sambil memegang sebuah buku yang sampulnya berupa foto. Dan.. foto itu.. adalah foto kami saat acara kelulusan sekolah.

​Demi tuhan aku bahkan tak tau ini kabar buruk atau kabar baik. Aku tak bisa berbohong bahwa aku tak mencintainya dan aku tak bahagia melihatnya.

​Ini semua tidak mungkin. Vincent pastilah sudah bahagia bersama jodohnya, sedang aku masih meratapi nasib tak rela atas kepergiannya.

​"itu tidak benar vanila."
​Aku terkejut bahkan merasa tak menginjak tanah kali ini. Aku sangat menandai suara itu!

​Aku menoleh berharap ini bukanlah sebuah mimpi. Atau jika ini hanyalah mimpi, ku mohon jangan bangunkan aku sebelum aku melihat wajah dan memeluknya dengan erat. Kumohon!. Gumamku dalam hati.
​Ia tersenyum.

​Aku tak berekspresi apapun. "apa benar itu adalah kau?"

​Ia mendekat. Memelukku erat. Aku diam mematung. Ini seperti bukanlah sebuah mimpi. Oh tuhan kumohon jangan bangunkan aku!

​Ia tertawa ringan. Masih memelukku. Mungkin merasa lucu dengan apa yang aku pikirkan. Tentu saja ia mengetahui apapun yang aku pikirkan. Membaca pikiran adalah kelebihannya.

​Aku balas memeluknya dengan erat tanpa tanggung setelah beberapa menit mematung. Sungguh, aku sangat merindukanmu!

​"aku juga merindukanmu vanila. Kau banyak berubah setelah meninggalkanku hari itu." Serunya melepas pelukan.

​"apa? Kaulah yang meninggalkanku!" Aku melepas pelukan.

​"kau terlalu emosi saat itu vanila. Kau belum sempat mendengar apa yang sebenar-benarnya aku ingin katakan padamu."

​"memangnya apa yang ingin kau katakan selain kata 'maafkan aku'? selamat tinggal? Hah? Semoga bahagia? Itukah?"

​Ia terkekeh. Sama seperti biasanya. Santai dan selalu menghadapi masalah dengan senyuman walaupun terkadang aku berkata kasar padanya.

​"Aku tidak sedang bercanda Vincent! Kau kira semua drama ini lucu? Kau adalah penjahat yang sampai kapan pun tak akan pernah ku benci Vincent! Dan Itu sangat menyebalkan."

​"apa kau benar-benar tak mau mendengar apa yang ingin aku katakan saat ini?"

​Aku terdiam.

​"ini adalah kabar baik. Percayalah!"

​Aku membalikkan badan karena satu hal yang telintas dikepalaku. Untuk mencegah kemungkinan yang akan terjadi apabila ia memberitahu kabar yang buruk, aku akan segera berlari dan meniggalkannya untuk selamanya. Aku berjanji!.

​"baiklah. Dengar ini! Hari itu aku memberitahu tentang perjodohan itu pada kiana dan ruben tapi tidak tentang rencana yang berusaha ku buat demi dirimu vanila. Saat kau tiba disana, aku bahkan berharap kau akan menerima penjelasanku sebelum berlari meninggalkan café itu. Tapi kau mengetahui hal itu terlebih dahulu. Dengarlah vanila! Aku mencintaimu lebih dari apapun didunia ini. Aku bersumpah! Rencanaku saat itu ialah menghentikan perjodohan yang sama sekali tak aku inginkan. Aku terpaksa harus berjuang sendiri karena kau terlanjur pergi dan aku, aku tahu aku telah menyakitimu detik itu juga.." tetapi, akhirnya Aku berhasil mengubah pikiran ibuku vanila. Ia menerima penolakanku atas perjodohan itu, dan keluargaku, mereka ingin bertemu denganmu. Jika kau mau, ikutlah bersamaku vanila! Aku berjanji akan membuatmu bahagia. Percayalah!"

​Aku menelan ludah. Berbalik untuk melihat ekspresi wajahnya apakah ia bersungguh-sungguh mengatakan itu. Penyesalan. Itulah ekspresi yang terpampang nyata diwajahnya.
​Dan matanya.. Untuk pertama kalinya aku melihatnhya meneteskan air mata. Seorang Vincent yang bahkan tak pernah terlihat murung apalagi menangis seperti saat ini. Aku ikut menetes melihatnya yang begitu berjuang demi aku yang tak tau diri ini. Aku menangis karena dua hal : (1) aku orang yang pertama membuatnya menangis, dan (2) lagi lagi aku menyesali diriku sendiri yang terlalu egois dan ceroboh ini.

​Aku memeluknya erat menerima permintaan maafnya beberapa tahun silam dan membiarkannya membawaku pergi kemana pun itu, asalkan aku tetap bersamanya.

##

Jangan pernah bosan membacanya yaa readers, karena masih banyak yang ingin author sampaikan hehe. Bytheway, thank you for read this part! ;*

L I Y ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang