13

21 2 0
                                    

Aku berjalan menuju kelas rey disebelah kelas kami, Setelah memarahi kiana barusan. Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka didalam. Mengapa pula namaku disebut-sebut didalam sana?

"Kamu apanya vanila?"

"Sahabatnya."

Ruben menahan tawa. Aku yakin itu adalah suaranya.

"Itu gak mungkin. Aku gak percaya."

"Yang suruh kamu percaya siapa?. Mau vanila jadi temanku, sahabatku, atau pacar sekalipun, itu bukan urusan kamu bro!" Vincent tersenyum sembari menepuk pundak ruben.

Apa yang mereka lakukan? Menjadikanku bahan omongan didalam kelas mereka?

"Yah tentu saja itu urusan aku. Kamu lupa? Aku pernah bilang sama kamu jangan coba-coba rebut vanila dariku. Nah sekarang maksud kamu apa?"

"Vanila siapanya kamu emang?" Vincent kini mengejek ruben dengan kikikan tawanya.

"Asal kau tau yah! Aku ngejar-ngejar vanila sudah lebih dari 2 tahun selama sekolah disini. Sejak smp malah. Pokoknya gimana pun caranya, aku yakin vanila akan jadi milikku. Tinggal tunggu waktu saja yang menjawabnya. Aku yakin dia juga bakalan suka sama aku. "Tapi itu gak bakalan berhasil jika kau terus mendekatinya. Jadi menjauhlah darinya!"

Aku memang tak menyukaimu ruben!. Seru ku dalam hati ingin menyela percakapan mereka.

"Itu bukan hak mu ruben! Kau tidak punya hak untuk membuatku menjauh dari vanila." Tatapan vincent kini menunjukkan bahwa dirinya sedang serius.

"Ayolah bro! Kau temanku bukan? Biarkan vanila bersamaku. Kau hanyalah orang baru disini jadi jangan coba-coba merebut hak orang lain ditempat orang lain pula."

Suasana diantara mereka kian menegang mereka bahkan saling tatap dengan tatapan yang tajam. Aku berusaha menahan diri membiarkan percakapan mereka mereda terlebih dahulu.

"Maaf ruben. Aku tak biasa memulai perkelahian disekolah. Aku bukan siswa seperti yang ada dalam pikiranmu." Kata vincent mengalihkan pandangannya dari ruben.

"Hebat! Kau bahkan memfitnahku mengajakmu berkelahi disekolah." Kata ruben tersenyum licik pada vincent.

Vincent membalas senyuman liciknya. "Bagaimana bisa?. Itulah yang sebenarnya sedang kau pikirkan bukan?. Dengar ruben! Aku tak menyukai perkelahian hanya karena seorang wanita. Itu bukanlah kebiasaanku. Dan dengar yang satu ini! Kau bisa menyembunyikan pikiranmu dari orang lain, tapi tak bisa dariku. Jadi, jangan pernah coba-coba untuk berbohong padaku." Tatapan matanya kini sangat serius. Baru kali ini aku vincent menatap seseorang dengan tatapan mata yang seperti itu.

Aku tak bisa membiarkan mereka dengan berdiam diri dibalik pintu kelas yang setengah tertutup ini. Menguping pembicaraan tanpa menampakkan diri. Paling tidak urusanku dengan vincent dapat kuselesaikan saat ini juga.

"Vanila? Tumben kau mampir ke kelas kami. Ada apa?" Tanya rey ketua kelas XII science zwei.

"Maaf mengganggu aktifitas kalian. Aku hanya ada perlu sebentar dengan siswa dikelas ini."

"Tak apa vanila. Masuklah! Jangan sungkan."

Aku kemudian berjalan mendekat kearah ruben dan vincent yang sedang duduk bersebelahan tepat dibalik tembok dekat pintu tempatku menguping tadi. Seluruh pandangan siswa(i) dikelas itu tertujuku.

Kumohon kalian berhentilah memandangku!. Doaku dalam hati.

"Hm.. Kalian bisa melanjutkan aktifitas kalian." Ujar ku memecah keheningan.

"Hey vanila! Pasti kau datang untuk menemuiku bukan?" Tanya ruben yang kini menatapku sambil tersenyum.

Tanpa membalas pertanyaan ruben, aku langsung memberikan beberapa kertas kepada Vincent.

"Ohiya.. Aku sampai lupa. Terima kasih yah!"

Aku mengangguk kemudian beranjak pergi dari hadapan vincent dan ruben. "Vanila.. Kau mau kemana?"

Aku menoleh. "Perpustakaan." Jawabku singkat.

Vincent seketika beranjak dari tempat duduknya dan mendekat kearah ku. "Aku juga akan pergi ke perpustakaan. Ayo!" Ajak vincent.

"Ekhm.." Seru teman-teman kelasnya menggoda kami yang semakin hari semakin akrab. Ruben hanya menatap sinis vincent sesekali mengalihkan pandangannya dari pemandangan yang mungkin sangat tak sedap baginya.

Aku hanya terdiam.

"Ayo cepat sebelum bel pelajaran berbunyi kembali." Seru vincent.

#

Kami sedang memilah-milih buku bersama saat ini. Vincent yang tak pernah kehilangan senyumannya-pun kelihatannya dengan semangat memilah-milih buku bersama ku.

"Ada apa?" Tanya vincent saat menyadari bahwa aku menatapnya sejak tadi.

"Hobimu tersenyum yah?" Tanya ku sedikit gugup.

Vincent tertawa ringan. "Sebenarnya, tersenyum itu bukanlah sebuah hobi vanila melainkan sebuah kebiasaan."

"Yah kau benar. Aku salah." Sembari menundukkan kepalaku.

"Siapa bilang kau salah?. Kau tidak salah vanila. Kau hanya keliru. Itu hal yang biasa." Kata vincent yang kini menatapku.

Aku menatapnya.

"Aku tau kau menyukai mataku vanila. Itu hal yang konyol."

"Apa?" Aku mulai mengerti. Ia membaca pikiranku lagi?

"Baiklah. Aku sudah mendapatkan buku yang ku cari. Sekarang aku harus kekelas. Ruben pasti sedang menungguku disana. Tak apakan?"

"Hah?.. Oh.. Iya tentu."

"Sampai jumpa! Dan jangan lupa jam 7 nanti untuk datang ke cafe kami yah! Kau pelanggan yang paling ditunggu-tunggu disana." Kata vincent sesekali tertawa berusaha bergurau kepadaku. Ia selalu berusaha untuk membuatku tertawa meskipun peluang keberhasilannya sangatlah kecil.

Aku hanya menganggukkan kepala kemudian tersenyum.

Entah mengapa, aku selalu merasa aman saat berada di dekatmu. Aku bergumam didalam hati sesekali memandang vincent yang kian menjauh dari hadapanku.

L I Y ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang