16

28 2 0
                                    

Lengang, menyisakan suara hujan di luar yang semakin deras. Entah kapan hujan ini akan berhenti.

"Itu keputusan yang benar kak." Calissa memecah lengang.

Aku mengangguk menatapnya. "Kau tau calissa?. "Malam itu aku gelisah. Tak bisa tidur memikirkan sesuatu yang sejak itu terjebak dalam kepalaku. Dua kemungkinan muncul tiba-tiba. (1) kemungkinan terbaiknya yaitu aku akan bertemu ayah bulan itu, juga pergi bersama ke acara kelulusan, atau (2) aku tak akan pernah bertemu dengan ayah lagi seumur hidupku." Aku berhenti diakhir kalimat. Tertegun.

"Apa yang terjadi? Dia marah pada kakak?"

Aku berkaca-kaca. Berusaha menyelesaikan cerita ini dengan segera.

##

Keesokan harinya aku bergegas menelpon ayah. Memeriksa buku telpon terlebih dahulu. Memastikan apakah nomor ayah masih ada atau tidak dibuku telpon. Syukurlah bi ijah mengamankan buku telpon ini ketika aku marah besar setelah perpindahan ayah ke LA. Mencari semua barang-barang milik ayah yang tersisa, bergegas membakarnya. Jika saja bi ijah tidak melakukan itu, maka semua barang-barang dirumah ini, apapun itu yang berhubungan dengan ayah, termasuk buku telpon ini akan musnah bersama dengan barang-barang lainnya. Menjadi abu.

1 menit berlalu aku mengotak-atik buku telpon ini. Mencari dengan teliti nomor telpon ayah. Akhirnya aku menemukannya. Berderetan dengan nomor telpon ibu. IBU. Aku melihat kata itu lagi.

Tidak. Keperluanku bersama ayah. Ibu adalah lukisan masa lalu ku yang indah dan suram setelah beliau wafat. Aku sudah menguburnya dalam-dalam. Mengikhlaskan kepergian ibu yang telah lama. Vincent, ruben, kiana membantuku melewati masa-masa itu. Masa suram yang membuat ayah meninggalkanku dan karena telah membuatku mengusir ayah. Aku takkan pernah bisa melupakan semua itu sepanjang hidupku. Aku harus menelpon ayah segera. Memohon maaf padanya atas kejadian beberapa bulan yang lalu.

Aku bergegas menelpon ayah setelah mendapatkan nomor telponnya dari buku telpon.

[Tut... Tut..]
Tetap tak ada jawaban.
Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Aku berseru menyuruh Bi ijah bergegas membuka pintu dan melihat siapa yang datang. Kiriman paket bunga dari teman bisnis ayah. Aku mengenalinya. Kolega Pak Tommy seorang pengusaha toko elektronik terbesar dikota kami.
"Maaf, kiriman ini untuk siapa?" Aku bertanya sesopan mungkin.

"Pak Tommy menitipkan ini. Beliau turut berbela sungkawa atas kepergian rekan bisnisnya Pak Aldrich Alison."

Aku tertegun setelah kolega itu menyebutkan nama dengan lengkap.

Oh tuhan.. Itu adalah nama ayahku.

L I Y ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang