12

18 2 0
                                    

Ekspresi terkejut terpampang jelas diwajah calissa.

Aku melepas genggamanku dari tangannya. "Aku anak yang buruk calissa"

"Kakak benar-benar melakukan itu padanya?"

Aku mengangguk.

"Aku mengerti kak. Aku juga seorang remaja. Aku bisa merasakan bagaimana perasaan marah kakak saat itu yang meluap saat dimarahi oleh ayah kakak didepan seluruh pekerja yang bekerja dirumah. Tapi aku tetap tak bisa merasakan kesengsaraan yang kakak tanggung dimasa lalu begitu dalam. Aku minta maaf telah mengorek luka yang lama."
Aku menyentuh pundak calissa berusaha menjelaskan bahwa ia tak bersalah dalam hal ini. Aku hanya menceritakan masa lalu yang suram. Aku memang berdosa dimasa lalu.

##

Hari Ini adalah hari ke 8 setelah aku tak masuk sekolah karena menerima hukuman ayah.

[Brukkk..]
Bunyi pukulan meja wali kelas kami saat aku menghadap keruang guru senin pagi.

"Bagaimana bisa siswi berprestasi sepertimu tak tuntas 3 mata pelajaran sekaligus? Ini sudah semester II vanila. Kau sudah membuat kesalahan yang fatal. Kau terancam tak ikut ujian jika seperti ini."
"Maafkan saya pak."
"Apakah dengan meminta maaf semuanya akan baik-baik saja?"
Aku menggeleng.
"Lantas apa yang akan kau lakukan?"
"Saya--"
[knock.. Knock]
Suara ketukan pintu memotong kalimatku.
"Silahkan masuk!" Kata pak herman wali kelasku.
Aku kemudian menoleh kebelakang.

Lagi-lagi siswa itu.. Apakah dunia sekecil ini? Mengapa aku harus bertemu dengannya setiap saat?
"170 nomor dalam waktu 90 menit seperti yang bapak perintahkan. Sudah selesai pak." Kata vincent sembari memberikan beberapa lembar kertas jawabannya.
Pak herman juga mengajar bidang studi yang sama dikelas Vincent meskipun ia wali kelasku.
"Kau memang genius. Kau boleh kembali ke kelas."
Vincent kemudian menoleh kearah ku yang sedang berdiri disebelahnya.
"Hm.. Saya bisa bantu vanila dalam hal ini pak. Tapi itu jika saya diizinkan." Ia Kemudian tersenyum.
"Memangnya kau tau apa masalah vanila saat ini?"
"Tentu saja pak. Vanila pernah bercerita kepada saya. Kami bersahabat pak jadi biarkan saya membantu vanila dalam masalah ini."
Aku kini menatap vincent dengan heran.

"Baiklah kalau begitu. Sepertinya kau orang yang tepat untuk membantunya."
"Terima kasih pak. Kalau begitu kami pamit ke kelas dulu. Ayo vanila!" Kalimat vincent sembari menarik tanganku membawa keluar dari ruangan pak herman.

"Aku tau ini tak akan menyenangkan bagimu. Tapi sayangnya kau mungkin harus terbiasa dengan hal ini." Kalimat vincent usai keluar dari ruangan pak herman sembari berjalan disebelahku.

"Apa yang kau bicarakan? Hal apa yang kau maksud?" Suara lantangku membuat vincent menghentikan langkah kakinya.
Vincent kemudian menoleh kepadaku yang berdiri tepat disebelahnya.

"Aku akan menjelaskannya padamu usai pelajaran selesai hari ini. Kita bertemu di centthy cafe pukul 7 malam ini. Aku harap kau bisa datang"

"Apa? Mengapa? Kau ingin membuatku menjadi bahan gosip koran dipagi hari lagi? Apa kau tak puas setelah apa yang terjadi beberapa hari yang lalu? Karena kaulah aku bahkan tak diizinkan untuk kesekolah selama seminggu."

"Maaf vanila, bukannya aku tak mau menjawab pertanyaanmu, tapi aku tak mau jika semua orang memandangmu seperti saat ini." Kata vincent meluruskan pandangannya kedepan.
Aku menoleh melihat-lihat siswa(i) lain disekitar kami yang sedang menyaksikan percakapan. Mereka menatap sinis diriku sesekali.

"Kau tentu tak mau jika mereka mengetahui semuanya jika ku katakan disini sekarang."

"Aku tak butuh bantuan mu!"

"Tentu saja kau butuh!"
Vincent tersenyum kepada ku. Senyuman godaan tetapi seperti senyuman licik bagiku. Aku mengaku kalah kali ini hanya bisa terdiam menatapnya

"Aku akan datang. Tapi Berhentilah tersenyum seperti itu kepadaku!" Kalimat ku sinis kepada vincent lalu beranjak pergi meninggalkannya.
Seorang siswa tiba-tiba datang menepuk pundakku.

"Hey! Vanila.. Apa kabar?" Si ruben yang baru saja menyapa ku saat aku sedang berjalan menjauh dari vincent.

Aku menatap sinis tangan ruben yang sedang berada dipundakku. Aku sama sekali tak menyukai hal itu. Aku membencinya.

"Jauhkan tanganmu dari pundakku!" Kata ku menatapnya dengan sinis.

Vincent hanya memandangi kami dari belakang yang kini sedang bercakap-cakap.

"Mengapa? Bukannya vincent juga pernah menepuk pundakmu seperti ini? Dan kau tidak marah padanya. Benar kan?" Tanya ruben mengusikku. Ia terlalu banya bicara.

Aku kini menoleh kearah vincent yang berada dibelakang kami. Tatapan sinis tanpa senyum sedikitpun.

Vincent mendekat kearah kami.

Aku yang hendak menghajar ruben karena telah kurang ajar padaku, dihentikan oleh vincent. Beberpa detik lagi persis saat tangan ku hendak menampar wajah ruben.

Vincent tersenyum kepada ku. "Biar aku yang mengurusnya. Kau bisa pergi sekarang." Kata vincent sembari melepaskan pegangannya dari tanganku.

"Beritahu temanmu yang satu ini untuk bersikap baik sepertimu!" Kata ku sangat sinis. Saat itu aku tengah melototi ruben sambil melepaskan tangan ruben dari pundakku dengan kasar.

Aku kemudian beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Berjalan menuju ke kelasku.

Selang waktu beberpaa menit..

[Bel istirahat berbunyi...]​
"Kamu dari mana van?" Tanya kiana pada ku yang sekarang sedang duduk dikursi mengemasi beberapa buku hendak menuju perpustakaan.

"Bukan urusan kamu." Jawaban singkat masih dengan muka cuek cemberutku.

"Aku sahabat kamu van. kamu gak mau gitu, cerita sama aku? Kamu selama ini kemana? menapa baru muncul? Ayah kamu ngasih hukuman lagi? mengapa? Gara-gara koran pagi itu? Cuma gara-gara itu? Emang sekarang kamu---"

[bruuk...]

Aku menghantam meja dengan buku. Kiana berhenti berceloteh.
"Kamu tau semuanya. Lantas untuk apa bertanya lagi? Supaya semua orang bisa dengar? Dan tau? Please kali ini ajah kamu jangan kepoin masalah aku!" Bentakanku membuat seluruh siswa didalam kelas menoleh kepada kami.

Kiana menatap ku dengan kecewa. Ia terdiam ditempat duduknya sambil menatap ku yang beranjak pergi menjauh dari hadapannya.

"Kok vanila jadi kasar gitu yah? Apa karena berita koran pagi beberapa hari yang lalu?"

"Dia memang selalu bertingkah aneh akhir-akhir ini. Tapi tak tau mengapa ia seperti itu."

"Mungkin dia punya masalah keluarga atau apa?"

"Ohhh mungkin dia punya masalah dengan si vincent itu."

"Aku gak suka sama sikapnya vanila. Dia mendadak jadi sombong, jarang tersenyum, jarang menyapa lagi. Dia bukan lah vanila yang dulu."

"Dia itu gak punya syukur. Coba deh pikirin! Siapa coba yang gak mau sama si vincent itu. Cakep, berbakat, pinter lagi. Dia perfect tapi sayangnya vanila mungkin sudah berhati buta atau bahkan matanya juga sudah buta."

Riuk-riuk teman kelas pasti memenuhi langit-langit kelas pagi ini. Membahas ini-lah, itu-lah. Apapun yang bisa mereka jadikan bahan.
Aku bahkan membentak kiana yang selama ini telah baik padaku didepan mereka sementara itu kiana tetap saja membelaku mati-matian.

"Hah entahlah!"

L I Y ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang