4 | Aiba Rui ~ "Namida no Iro"

932 48 45
                                    

Pertemuan itu ... bisa kapan saja, dengan siapa saja, tak ada yang dapat memastikan. Tanpa memandang status, tanpa menyadari telah melibatkan perasaan masing-masing.

***
**
*
"涙の色"
(warna air mata)
Aiba Rui x reader
Marginal #4 © Rejet
*
**
***

Saat itu aku menangis seorang diri di tepi jalan. Seakan hatiku diiris silet---begitu tipis dan mendalam---oleh orang-orang terdekatku sendiri.

Ibu memarahiku begitu tahu aku tak mengikuti ujian masuk sekolah keputrian favorit di kota ini---padahal beliau sangat ingin anaknya mengikuti jejaknya. Aku hanya ingin menjadi siswi biasa di sekolah menengah biasa.

Sahabatku telah berkhianat dengan menyebarkan gosip buruk tentangku akan diam-diam memfoto teman laki-laki yang dulu pernah sekelas denganku saat kelas satu. Aku memang menyukainya, namun ucapannya sama sekali tidak benar!

Setelah beredar gosip itu selama dua hari esoknya malah dia yang pacaran dengan laki-laki itu.

Aku dicampakkan sahabat, laki-laki yang kusuka, dan kehilangan kepercayaan teman sekelas.

Aku mencoba untuk tegar, namun entah kenapa dada ini serasa kosong. Berjalan pulang seorang diri terasa pilu, kikikan kecil mereka memalu hatiku hingga berlubang.

Aku pun menjauh. Mencari tempat sepi untuk menangis. Di pematangan tepi sungai aku duduk dan menumpahkan semua kesedihanku. Hanya isakan, dengan wajah kututup dengan kedua telapak tangan.

"Kau kenapa?"

Sapaan lembut itu menghentikan tangisku. Aku sendiri terkejut dan langsung menghapus sisa air mata yang tumpah.

Ia memberikan sapu tangannya. "Pakailah."

Dengan gugup kuterima. "A-arigatou...."

Namun, aku sama sekali tak memakai sapu tangan pemberiannya, nasibnya berkahir dalam genggaman lemahku dipangkuan.

"Tak pantas seorang gadis menangis sendirian di luar tanpa ditemani seorang teman," ujarnya.

Aku tak langsung menjawab. Namun hatiku dengan cepat menjawabnya: tak mungkin, tak ada yang peduli dengan kesedihanku.

"Akan lebih baik melepaskan penat di rumah, bukan?" tambahnya.

"Aku ... tak bisa menangis di rumah," jawabku.

"Kenapa?"

Aku mengulum senyum. "Ibu akan memarahiku."

Ia terdiam untuk beberapa saat. Diluruskan kedua kakinya ke depan dan tangan kanannya lurus ke belakang memapah berat badannya.

Aku baru menyadari sosok asing yang mengajakku bicara. Seorang laki-laki yang kemungkinan seumuran denganku. Surai biru terpotong pendek dan rapi, perawakannya terlihat ramah dengan kulit putihnya bersinar karena biasan cahaya sore matahari pada keringat yang membasahi setiap lekuk wajahnya.

Aku langsung mengalihkan pandangan ke depan seketika jantung berdegup keras.

Ia pun mengelap keringat dengan handuk kecil di pelipis dan lehernya.

"Kamu ... sehabis marathon?" terkaku.

Kami telah membisu untuk beberapa saat hingga membuat situasiku begitu canggung. Aku juga tak mengerti kenapa ia berhenti hanya untuk menghentikan tangisku.

"Hmm...," jawabnya.

"Aku ... aku harus pulang," ujarku begitu gugup.

Kukembalikan sapu tangannya. Namun ia menolak.

Oneshot(s) Love!!♥ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang