Stoke Morden End

511 57 8
                                    

Aku tidak bisa tidur nyenyak selama berada di rumah ini, tapi apa boleh buat masih tersisa waktu sehari sebelum aku bisa pulang ke London. Perbincanganku kemarin dengan Philip masih mengganjal dalam benakku. Aku merasa sedikit tak enak hati pada ucapannya dan berharap bisa meminta maaf sebelum kami pulang, tapi seharian ini aku tidak melihatnya di rumah. Mungkin memang benar, dia selalu sibuk sepanjang waktu.

Aku hendak bertanya pada nona Maghdalena tapi sedikit tak enak hati, karena aku tidak mau dia berpikir yang tidak-tidak mengenai kami berdua. Kadang aku berpikir saat menatapnya, dia memiliki pandangan lain akan hubungan kami berdua yang bahkan nampak biasa saja bagiku.

Langkahku menyusuri sudut rumah itu, meski suasananya selalu nampak mengerikan di malam hari, tapi ada satu hal yang aku sukai selama berada di sini. Matahari yang terbenam di antara ladang gandum Royston Manor adalah matahari yang indah, tersembunyi di antara sunyi, langit yang berwarna perak seolah menyentuh tanah cokelat gelap yang basah. Sinarnya selalu nampak redup, sendu di puncak dedaunan musim gugur yang sedih.

Pemandangan sore di muka beranda selalu menjadi hiburanku, ketika tak ada lagi yang bisa aku lakukan dan mulai tenggelam dalam kesedihan. Angin sore dan semua ketenangan ini mustahil aku dapatkan di London.

Sore itu aku meminta izin Nona Maghdalena untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar desa bersama Annet. Ia tidak keberatan dan mempersilahkan, bahkan dia meminta Elis juga turut ikut karena takut kalau kami tersesat. Aku berkata hanya akan berjalan-jalan di sekitar ladang di depan rumahnya. Dia tersenyum simpul, meminta maaf karena tidak bisa ikut menemani jalan-jalan kami karena merasa lelah untuk melakukannya. Aku memaklumi, usianya yang cukup tua kukira tidak bisa membuatnya melakukan banyak hal selain merajut atau sekedar berjalan-jalan di halaman depan rumahnya yang sepi.

Aku melintas halamannya yang dipenuhi bunga, lalu menyeberang ke arah jalan dari tanah cokelat gelap yang basah. Di pinggir ladang yang membentang dengan ilalang kering, rumput yang mulai kecokelatan bermandi sinar matahari sore di antara buku tanaman hijau yang jatuh menunduk, aku terdiam. Menikmati pemandangannya dan mencoba menyingkirkan semua pemikiran yang mengganggu batinku walau aku tahu hal itu rumit. Semakin aku mencoba melupakan segalanya, semakin rasanya ingatan itu membekas dan seolah akan membunuhku tiap saat.

Sinar matahari sore ini nampak akrab, warnanya sama dengan warna mata seseorang yang tak asing. Hal demikian membuatku merindukan matahari sore hampir tiap hari, tiap saat, seolah sedang merindukan pertemuan lagi dengannya. Sesekali aku bahkan berharap dia akan muncul dari balik awan senja dan berdiri di depanku, berdiri seperti biasa dengan segala keangkuhan dan kemarahan yang ia miliki. Sekarang dan seterusnya, aku tidak tahu harus bertahan berapa lama dalam senja seperti ini.

Ketika aku berpaling, tanpa sengaja aku melihat Philip berjalan dengan seorang pria setengah baya berbadan gemuk, bermuka bulat dengan topi tinggi dan rompi cokelat yang rapi. Saat itu ia tersadar aku menatapnya, dan ia hanya membalas dengan memulas senyum sederhana.

Tiba di depan rumah, ia dan kawannya berpisah. Saat hendak masuk ke dalam rumah, aku memanggilnya karena merasa bahwa masalah yang kami bicarakan kemarin belum diselesaikan. Ia berjalan menghampiriku, sedangkan Annet masih berdiri mematung di belakang punggungku.

"Selamat sore tuan"

"Selamat sore Nona Robinson" sapanya tanpa menghilangkan keramahan diwajahnya.

"Aku tidak melihatmu sepanjang pagi tuan"

"Aku pergi ke banyak tempat hari ini dan singgah ke stasiun kereta Stoke Morden untuk membeli tiket kereta api. Apa kau sudah membelinya nona?" aku berdecak, sedikit terkejut.

Contract With the DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang