Akhir dan Penyesalan

988 73 29
                                    

       Sebastian masih tertidur lelap di sisiku. Melihat sepasang matanya yang memejam membuat ia terlihat tak beda dengan manusia lain. Kusentuh dahi, lalu mengarungi kulit pipinya yang pucat. Ia masih tak bergeming. Sebelum sempat sepasang matanya membuka aku mendekati wajahnya yang tenang. Menghirup bau napas mint dari mulutnya, dan menciumnya.

Sebastian membuka matanya lebar-lebar, terpaku ke arahku dengan terkejut seolah tak menduga apa yang sedang aku lakukan. Jari-jarinya bahkan gemetaran ketika menyentuh jantung kirinya. Meski begitu ia hanya tersenyum simpul menahan rasa sakit dan kesedihan yang hinggap begitu jelas dibalik bayangan matanya.

Aku membalas senyumnya disertai tetes air mata yang jatuh entah kenapa. Ketika aku menyadari, tangan Sebastian telah sampai ke kulit leherku. Dengan napas yang makin dangkal ia mencoba mengatakan sesuatu.

"Aku sudah tahu hal ini akan terjadi. Kau memilih membunuhku, mengorbankan aku pada akhirnya. Tapi bisaah aku bertanya kenapa?" ucap Sebastian mencoba mencabut belati kecil itu dari dadanya. Kurangkul ia dalam pelukanku untuk menhilangkan sedikit dari rasa sakit di tubuhnya.

"Aku melakukan apa yang sudah seharusnya aku lakukan. Setelah ini kau bisa pergi dengan tenang dan takdirku yang menyedihkan pun akan berakhir" kataku sambil mengelusi lembut helaian rambut hitamnya untuk terakhir kali.

Sebastian terbatuk, dari mata senjanya yang bening jatuh air mata yang kubirkan begitu saja. Ia terpaku, memegang pundakku dengan erat.

Tawa dan napas yang tersengal berlomba keluar dari bibirnya "Kenapa hatiku tetap saja merasa sakit seperti ini. Apa cinta manusia benar-benar lebih sulit tertinggal dibandingkan dengan dendam? Inikah yang sungguh kau inginkan, apa kau tidak akan menyesal?"

"Tidak... Tidak sama sekali!" Sebastian tersenyum, membelai rambutku menggunakan tangannya yang telah berubah warna menjadi kehitaman. Tubuhnya seperti telah mati, perlahan memunculkan tanda memudar seperti pasir yang digerus angin.

Ia mendekati telingaku, lalu bergumamam pelan "Aku ingin... memberitahumu tentang namaku. Namaku adalah... Namaku adalah... Aku mencintaimu..." ia membisikkan nama dan hatinya bersama angin yang berhembus dari jendela. Aku terdiam, menahan genang air mata. Kulit jemarinya mencoba menuruni wajahku sebelum sempat, ia telah menghilang tanpa ada jejak teringgal selain belati yang jatuh ke tanganku.

Aku tak tahu apa yang dirasakan hatiku. Tubuhku terasa lumpuh sesaat terpaku ke arah jendela, tempat ke mana Sebastian telah lalu pergi meninggalkanku. Bulir tangisan yang hangat mencoba menyadarkan pemiliknya jika aku telah membunuh ia, membiarkan Sebastian pergi selamanya dan tidak akan pernah muncul lagi, setelah hari ini dan minggu kelabu setelahnya.

Aku masih tak tahu apa yang dirasakan batinku ketika meninggalkan kamar Sebastian, lalu menapakkan jejak menuju kamarku. Melihat seputar ruangan kosong, dan tanpa sadar terpaku pada boneka rajut pemberian Tuan Leon, sedang terpojok kesepian di sudut tempat tidur. Aku meraihnya bersama kekosongan yang tiba-tiba saja menelan jiwaku. Kucoba menutupnya menggunakan senyum tapi mengapa kepedihan ini tak mau berhenti. Rembesan air terus jatuh dari mataku dan sampai ke mata cokelat boneka itu yang seolah telah ikut menangis.

Kukelilingi seluruh rumah dan tak seorang pun muncul di sana, selain semua bekas kenangan yang dulu. Tubuhku lelah hingga memilih duduk bersandar ke sebuah kursi. Dalam satu kerling mata semua hal di depan mataku berubah. Seluruh ruangan tertutupi debu-debu tebal, dan sarang laba-laba di tiap sudut dinding. Segalanya berbeda seolah tempatku bernaung telah bertahun ditinggalkan.

Langkah kakiku yang tak beralas rasanya seperti mengambang di udara, ketika meninggalkan rumah itu di bawah keping salju yang dingin, tapi tak meninggalkan rasa apa pun dipermukaan kulitku yang terbalut gaun tidur seadanya.

Contract With the DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang