Sebuah Pengakuan

813 82 15
                                    

       "Sebastian?" panggilku pada pria berambut hitam yang sedang duduk di depan jendela dengan tatapan hangat mengarah ke langit. Ia mungkin tak menyadari kehadiranku di sana, atau mungkin pura-pura tidak tahu, kerena sedari tadi aku sudah memandanginya dari muka pintu.

"Makan malammu sudah selesai?"

"Iya" kataku sambil memandangi kamarnya yang lebih luas dari kamarku, tapi sebagaian isi ruangannya hanya ada lemari berisi penuh buku. Aku menghampirinya "Apa boleh aku duduk di sampingmu?"

"Silahkan!" aku menggeser kursi,lalu duduk di sampingnya.

"Bukan hanya di mansionmu, tempat ini juga penuh buku. Apa kau menyukai membaca semua buku itu?"

"Tidak, aku tidak perlu membaca buku karena aku tahu lebih banyak mengenai dunia ini dibandingan dengan selembar kertas yang berisi banyak omong kosong"

"Jika kau tidak menyukainya, lalu kenapa kau menyimpan begitu banyak buku?"

"Aku hanya tertarik mengetahui jalan pikiran manusia" Sebastian mengalihkan pandangannya ke arahku "Apa kau tahu, kalau kata-kata satu orang bisa mempengaruhi pikiran orang lain yang sependapat dengan mereka? Sebenarnya, manusia itu sangat rapuh dan terlalu mudah untuk diperdaya dalam bentuk yang paling mereka sukai. Mungkin terdengar sederhana, tapi banyak orang-orang yang akhirnya masuk dalam neraka karena rasa suka. Bukankah menyedihkan, padahal mereka cerdas"

"Apa kau membenci manusia?" Sebastian menarik wajahku, mendekat padanya.

"Aku tidak membenci manusia, aku hanya tidak suka bagaimana mereka diposisikan lebih tinggi dariku. Kau tahu, aku hidup sangat lama sekali di dalam surga tapi, ketika sebangsa manusia itu diciptakan, dengan segera mereka mengambil tempat kami. Bahkan kami harus berada pada posisi yang lebih rendah dari mereka. Tuhan itu sangat tidak adil, karena itu aku ada untuk menunjukkan keadilanku" Sebastian menyeringai lalu tertawa dengan sorot mata tajam. Dia melepaskan daguku, lalu bersender ke kursi kayu. Jemarinya menjentik, dan seluruh kamar itu bersinar terang, berkilau tak ubahnya permata menyilaukan mata.

"Aku bisa menciptakan apa saja di dalam fantasi dan mimpi murahan tiap manusia dengan mudah. Jiwa mereka yang selalu memanifestasikan sisi keserakahan, pikiran buruk, kotor dan kadang melecehkan, membuat mereka harus hidup dengan sebuah aturan-aturan yang telah diajarkan. Dan ketika aturan itu sudah tak dipatuhi lagi, manusia akan berubah tidak ubahnya seperti binatang. Binatang hidup dan mati tanpa aturan, meskipun mereka sama-sama memiliki pikiran, akal dan insting"

"Apa kau juga menganggapku seperti mereka?"

"Aku tidak membedakan siapa pun yang membuat kontrak denganku" entah mengapa mendengar ucapannya yang begitu dingin, membuatku merasa marah. Seolah aku seperti seseorang yang tidak memiliki arti, sedangkan selama ini aku mungkin menilai diriku berbeda.

"Sudah terlalu larut, aku akan kembali ke kamarku" aku berharap dia akan mengatakan sesuatu, tapi Sebastian tidak mengatakan apa pun.

Sepanjang malam dalam kamar pembaringanku, tak hentinya kata-kata Sebastian terus terngiang dalam pikiranku dan membuatku terluka. Aku kecewa karena mengetahui jika di matanya, aku ini tidak ubahnya dengan manusia serakah yang dia perlakukan sebagai budak, meski sedikit berbeda dan lebih baik dari budaknya yang lain. Tapi bukan itu, bukan semata hal itu. Aku tidak mungkin akan mempertaruhkan kehidupanku hanya untuk sejumlah besar harta, dan nama. Ada hal lain di balik itu yang membuatku tidak keberatan selama berada di sisinya. Benarkah dia tidak menyadarinya sama sekali?.

Aku kembali teringat beberapa waktu lalu ketika kami belum membuat kontrak. Bukannya aku sudah bermaksud menolak, tapi dia yang menawarkan kontrak itu padaku. Dia yang menginginkan semuanya, tapi kenapa dia memiliki pemikiran dan perasaan yang tidak sama. Aku memang belum pernah mengatakan perasaanku, karena ucapannya sudah cukup mematahkan perasaanku.

Contract With the DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang