Masa-masa SMP Sam sebentar lagi akan berakhir. Ujian akhir tinggal menghitung bulan, Lilly sudah mendorongnya segera membeli prom dress, dan tentu saja cewek itu ikut campur juga tentang mencari prom partner-nya. Selama satu setengah tahun ini Lilly begitu ngotot ingin menjadi teman Sam. Ia sudah memberikan Lilly seluruh rintangan untuk masuk dalam hidupnya, dari yang sesederhana tak menggubris obrolan sampai berbicara secara langsung. Tapi seperti sebelumnya, semua itu tak ada yang mempan. Sampai akhirnya Sam malas sendiri untuk terus mendorong Lilly menjauh dan menerima pertemanan ini. Yah, setidaknya kini ia tak perlu menguping tentang gosip yang sedang hangat di sekolah dan langsung dapat informasi dari Lilly secara langsung dan lengkap. Tapi untuk ikut bercerita tentang masalah-masalah hidupnya, nanti dulu.
Jam masih menunjukkan pukul enam ketika Sam berjalan menuju ke arah kolam renang sekolah dengan seragam lengkap. Bahkan satpam sekolah saja sedikit kaget melihat ada siswa yang begitu rajin hingga datang dua jam sebelum bel berbunyi. Tapi Sam punya alasan sendiri kenapa ia sampai di sekolah sepagi ini.
Selama seminggu belakangan, rumah diselimuti dengan perang dingin antara ibu dan ayah. Di depan Sam mereka memang berusaha untuk menutupinya, tapi dia bukan anak polos yang bisa dengan mudahnya dibohongi seperti itu. Sejak dulu ayah dan ibu memang bukan termasuk pasangan yang suka mempertontonkan kemesraan mereka di depan orang lain, termasuk anak perempuan satu-satunya ini.
Ayah yang super pendiam, kaku, dan tertutup lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengembangkan perusahaan properti rintisannya. Sedangkan ibu sibuk dengan kegiatan sosial dan mengurus art gallery-nya. Namun di tengah kesibukan itu semua, mereka selalu meluangkan waktu untuk makan pagi bersama Sam. Sebuah waktu yang singkat tapi sudah cukup untuk membuatnya merasa diperhatikan. Selama makan pagi itu Sam bisa memperhatikan kedua orang tuanya yang mempunyai sifat bertolak belakang entah kenapa bisa menemukan titik kecocokan dan melengkapi satu sama lain.
Secapek apapun ibu, beliau tak pernah lelah untuk mengoceh tentang kegiatan sosialnya. Bagaimana lelang lukisan yang baru saja diikutinya. Bagaimana perjalanannya mengunjungi panti sosial atau semacamnya. Sampai membahas tentang anak laki-laki temannya yang menurut ibu cocok untuk Sam. Walaupun tak menyahut, Sam bisa melihat jika ayah memperhatikan cerita ibu dengan seksama. Sorot mata ayah pada ibu terasa hangat walaupun ekspresi wajahnya tak berubah.
Berbeda dengan sekarang.
Walaupun mereka berusaha menyembunyikan perselisihan ini dengan terus mengadakan ritual makan pagi bersama, tapi Sam bisa merasakan perbedaannya. Ayah tak lagi peduli dan sibuk menyuapkan makanan ketika ibu bicara. Tak ada senyum samar yang bisa terlihat dari wajah ayah. Tak ada lirikan sebal ibu pada ayah yang terlalu datar menanggapi ceritanya.
Dan hari ini, Sam sengaja datang lebih awal ke sekolah untuk menghindari ritual yang tak lagi menyenangkan itu. Sekaligus, ia ingin memberi tahu secara tak langsung jika dia bukan anak bodoh yang tak peka dengan suasana dalam rumah. Sam lebih baik tahu yang sebenarnya dan merasa sakit hati, atau sedih-apa lah perasaan yang bisa timbul lainnya, daripada terus merasa dibohongi dengan akting keduanya yang jujur saja, cocok dapat Razzie Awards saking buruknya.
Kolam renang sekolah masih sepi saat Sam menghampiri salah satu loker, meletakkan ranselnya kemudian dengan hati-hati menguncinya. Matanya mengedar ke sekeliling, memastikan jika tidak ada anak lain selain dirinya, kemudian Sam membuka seragamnya. Angin dingin menyapa tubuh Sam yang terbalut swimsuit berwarna hitam, ia berlari kecil di tempat untuk mengusir rasa menggigil sambil mengenakan swim cap berwarna senada.
Setelah melakukan sedikit pemanasan, Sam mencelupkan kakinya ke dalam air. Seluruh tubuhnya merinding merespon suhu air kolam renang yang begitu dingin. Tapi tak menghiraukan itu semua, ia langsung menceburkan diri ke kolam renang. Menyelam, merasakan bagaimana kini tubuhnya mulai menyesuaikan suhu dengan dinginnya air. Butuh delapan kali Sam mengambil nafas untuk bisa sampai di ujung kolam renang lainnya. Tapi hanya butuh satu pertanyaan dari seorang cowok untuk membuat pagi yang tenang itu kini riuh oleh suara detak jantung Sam.
"Feeling all blue?"
Karena pertanyaannya tak juga dijawab, akhirnya Arav yang juga telah siap dengan pakaian renangnya menceburkan diri ke dalam kolam renang. "Sebelumnya gue nggak pernah lihat ada anak non klub renang mau nyebur pagi-pagi begini. Makanya gue tanya, lo lagi sedih? Karena well, bagi gue renang memang cukup ampuh untuk sedikit bikin perasaan itu hilang." Cowok itu tersenyum sekilas pada Sam sebelum akhirnya berenang, meninggalkan Sam yang masih juga dalam mode freeze.
Tak ingin membuat kecanggungan makin menjadi-jadi, ketika Sam melihat cowok itu sudah berada di ujung dan bersiap untuk balik arah, Sam kembali berenang. Tapi setelah percakapan singkat tadi, kini tak ada ketenangan yang Sam coba dapatkan dari olahraga favoritnya ini. Pikirannya terus terusik dengan pertanyaan Arav yang terdengar perhatian-jika Sam boleh menggunakan kata itu untuk mendeskripsikannya, dan diucapkan dengan ekspresi wajah yang ramah.
Setelah mendapatkan lima putaran, Sam naik ke permukaan. Daripada ia terus berenang hanya untuk menghindar, mending ia sekalian bilas dan ke perpustakaan saja untuk membaca bahan kelas Sosial nanti. Sam membungkus diri dengan handuk, berjalan ke arah kamar mandi untuk membilas diri. Tapi ia lagi-lagi dikejutkan oleh Arav yang tiba-tiba berkata, "hei!"
Setelah 'hei'-nya itu, Sam bisa mendengar suara air menetes dari tubuh Arav yang mendekat. Sam tak bisa berhenti berpikir kenapa Arav yang terkenal super diam dan tak pedulian itu tiba-tiba ingin tahu seperti ini. Bukannya Sam nggak suka, tapi momennya ini tidak tepat. Sam luar biasa kedinginan walaupun sudah terbalut handuk, ia bahkan bisa merasakan jika tubuhnya menggigil. Tapi demi kesopanan, well, lebih tepatnya demi memberi makan keingintahuan Sam tentang apa yang sebenarnya Arav ingin obrolkan dengan dirinya, akhirnya Sam pun berbalik juga.
Ekspresi Arav langsung terlihat khawatir begitu melihat Sam yang kedinginan, "eh, lo kedinginan, ya?" Sam tak pernah merasa sehangat itu hanya dengan diberikan sorot mata ketika Arav bertanya tadi. Dua setengah tahun Sam hanya bisa melihat Arav ketika dia sedang serius berlatih renang, kini ia tahu jika cowok itu punya ekspresi lain: khawatir. Khawatir dengan Sam. "Ya udah lo bilas dulu aja. Gue tunggu di luar, ya."
___________
Hai! Sebelumnya aku mau berterima kasih pada kalian yang sudah mampir menyempatkan baca AYG. I'm very grateful for having all of you, guys *blow kisses*. Terus baca AYG sampai enam bulan ke depan, ya! Jangan lupa kasih vote, tulis kritik/saran lewat komen juga boleh banget.
Di part ini aku lagi-lagi kasih cuplikan flashback ke jaman Sam masih SMP. Dan sejujurnya aku sangat menikmati menulis scene kolam renang ini karena akhirnya bisa tahu sisi Arav yang lain. LOL, ketauan banget ya kalau aku nulisnya tanpa outline dan sesuai mood jadi suprise sendiri begini. Well, semoga kalian menikmati part ini seperti aku menikmati proses menulisnya.
Anyway, aku belum bisa reveal pemeran empat tokoh utama AYG sekarang. Tungguin aja ya, mungkin aku malah bakal bikin special part buat ngenalin mereka berempat *wink*
See you next Friday!
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone [Sudah Terbit]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] After You've Gone "Karena kamu hidupku jadi berwarna" oleh Ardelia Karisa _______________ Jika dianalogikan, kehidupan Sam itu mirip dengan masakan barat yang berbumbu minimalis. Tapi, tidak lagi setelah satu orang paling b...