Pepohonan rimbun yang tumbuh sepanjang jalur pedestrian sekolah memayungi Sam dan Arav yang berjalan beriringan menuju pick-up point dimana ibu sudah menunggu. Keduanya diam, hanya suara hak sepatu Sam yang terdengar dan gemerisik daun menjadi latar belakang suaranya.
Baru kali ini Sam berjalan ditemani seorang lawan jenis yang bukan ayah atau sepupunya. Dan baru kali ini ia tahu jika berjalan dengan cowok bisa membuatnya begitu deg-degan hingga Sam terus menggigit bibir sambil tangannya memainkan tali ransel. Walaupun begitu, ada rasa senang yang menyelimuti diri Sam. Ia jadi ingat curhatan Lilly tentang bagaimana perasaannya ketika pertama kali jalan dengan cowok yang disukainya, "Nervous iya, seneng iya, cemas karena takut bikin ilfeel iya, pokoknya perasaan campur aduk, lah." Lalu semua itu berujung pada sindiran Lilly tentang bagaimana Sam begitu anti pada pacaran saat SMA karena takut akan mengganggu fokusnya, "makanya dimanfaatkan tampang lo yang sebenarnya kalau diberi bumbu senyum dikit aja, pasti cowok-cowok udah ngantri kepingin jadi pacar lo."
"Gue nggak mau masa muda ini gue pergunakan untuk memanfaatkan tampang aja."
"Kan lo sukanya sama Arav yang kayaknya doyan belajar juga, tinggal lo ganti movie date jadi ngerjain homework sama-sama. Lagian lo yang katanya nggak pernah bisa belajar Bahasa Perancis lebih dari satu jam aja bisa dapat nilai A terus waktu ujian, gue yang sampai prepare dua hari sebelum ujian aja belum tentu dapat B. Pacaran nggak bikin lo serta merta bodoh, kok. Gue buktinya," katanya jemawa waktu itu.
Kadang Sam berpikir jika apa yang dikatakan Lilly ada benarnya. Mungkin dia seharusnya lebih santai dalam menjalani hidup, lebih terbuka pada kesempatan-kesempatan untuk dekat dengan orang lain, dan tak melulu melihat sesuatu dari perspektif negatifnya. Namun pikiran itu hanya sampai disitu saja, tak ada aksi nyata yang Sam buat untuk mengubahnya.
Dan kini, setelah Lilly pergi, tiba-tiba jalan dengan Arav jadi terasa mungkin. Lebih dekat dengan cowok ini bukan lagi hal yang tadinya Sam kira telah ia sia-siakan kesempatannya. Namun ironisnya, setelah Lilly pergi Sam baru mengijinkan dirinya untuk menjadi Sam yang lebih santai—well, setidaknya dia sedang berusaha mencoba merasa nyaman dengan berjalan kaki bersama seperti ini. Tak membiarkan suara-suara dalam kepala yang menyuruhnya untuk menghentikan adegan saling diam namun entah kenapa membuatnya tenang dan senang ini mengambil alih. Hal-hal yang dulu pernah Lilly inginkan. Sam yang normal, yang membiarkan dirinya dibuai perasaan senang hanya dengan berjalan di samping cowok yang tiba-tiba membuka suara itu.
"Sorry, gue nggak tahu harus ngobrol apa."
Sam merasakan cowok itu kini menoleh dan menatapnya, dan itu pula yang akan Sam lakukan untuk membalas permintaan maafnya dengan, "Nggak masalah. Gue juga kok." Semoga saja suara yang terdengar ramah tadi membuat Arav jadi tahu jika Sam sudah cukup senang dengan adegan film bisu beberapa saat lalu.
"Sebenarnya ada yang pengen gue tanyain." Lalu dia berdeham kecil kemudian menghentikan langkahnya dan menatap Sam begitu serius, "Lo keberatan kalau gue sesekali chat lo?"
Tak menyangka jika pertanyaan sesederhana itu bisa membuat suasana yang santai tadi tiba-tiba menguap entah kemana, Sam tak mampu menahan tawanya. "What kind of question is that?"
"I know, I'm sorry." Arav tertawa juga menyadari pertanyaannya terdengar bodoh jika dibawa serius seperti tadi. Keduanya kembali melanjutkan langkah-langkah yang kini melambat seiring rasa nyaman yang tumbuh diantara mereka. "But, I suppose that's a yes?"
Mobil-mobil jemputan yang berderet rapi telah terlihat dari kejauhan. Tak pernah Sam sangka jika perjalanan singkat dari kafe ke pick-up point akan semenarik ini. Menawarkan kesempatan untuk lebih dekat dengan Arav pula. Langkah mereka terhenti tepat di belakang sedan hitam mengkilat milik ibu. Menjawab pertanyaan cowok yang ternyata jauh lebih manis dengan senyum dan dilihat dari jarak sedekat ini, Sam hanya tersenyum lalu berkata, "Makasih udah nemenin gue jalan, Rav."
"My pleasure." Katanya singkat dan kini menunjukkan senyum dan sorot matanya yang hangat. Sama seperti ketika cowok itu khawatir jika Sam kedinginan waktu SMP dulu. "Sampai ketemu besok pagi, Samara."
Sam melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya ketika telah duduk di kursi belakang mobil. Lima menit. Tepat lima menit Arav dan Sam berjalan dari kafe menuju pick-up point. Lima menit yang membuatnya dapat melihat secara dekat tawa Arav, rambutnya yang bergoyang seirama dengan tawanya, keramahan serta senyumnya. Lima menit yang membuatnya sadar jika semua hal tadi ditambah munculnya nama Arav Kazan di kolom chat seperti sekarang sanggup memberikan definisi baru untuk kata senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone [Sudah Terbit]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] After You've Gone "Karena kamu hidupku jadi berwarna" oleh Ardelia Karisa _______________ Jika dianalogikan, kehidupan Sam itu mirip dengan masakan barat yang berbumbu minimalis. Tapi, tidak lagi setelah satu orang paling b...