Back to Junior High...
Jika ada satu teman lawan jenis yang berhasil mengambil seluruh perhatain Arav maka Samara akan menjadi jawaban satu-satunya. To be honest, Sam bukan cewek yang luar biasa cantik, tapi pernah menjadi teman sekelas di kelas Matematika kelas tujuh dulu, dan mengetahui jika cewek itu luar biasa pintar dan luar biasa pendiam membuat Arav jadi tertarik.
Sebenarnya ketertarikan itu hanya sekedar rasa ingin tahu Arav tentang kenapa cewek itu begitu dingin? Nggak pernah ada orang sedingin Sam yang pernah ia temui. Bahkan dirinya yang dijuluki dengan julukan konyol Ice Prince oleh teman-teman seangkatan saja juga tak sependiam itu. Dan masih punya teman, walaupun tak banyak. Sam benar-benar bicara hanya seperlunya, selebihnya cewek itu hanya memperhatikan dengan bola mata sehitam onyx yang dimilikinya dan memberikan sedikit respon dengan gestur. Seperti tersenyum, mengkerutkan kening, atau kalau pun berbicara pasti hanya satu dua kata.
Keingintahuan itu bertambah ketika ia menyadari jika Sam setiap hari duduk di kursi penonton yang sama setiap ada latihan berenang, entah kenapa. Matanya menatap jauh, kadang Arav merasa ia seperti diperhatikan walaupun berkali-kali dirinya menyingkirkan pemikiran itu karena..well, nggak ada alasan bagi Sam untuk memperhatikan dirinya di tengah-tengah atlet renang lain yang bertelanjang dada.
"Dari sekian banyak cewek yang memuja keagungan lo sebagai Pangeran Es, lo justru tertarik sama cewek itu?" Salah satu teman terdekatnya di klub renang, Liam, bertanya ketika mereka sama-sama sedang mengenakan pakaian di loker kamar ganti.
"Gue hanya ingin tahu aja soal Samara. Lo biasanya paling ngerti soal cewek-cewek begitu, makanya gue nanya." Arav mengibaskan rambutnya yang masih basah kemudian merapikan dengan jemari panjangnya sekilas. Setelah menyemprot parfum ke seluruh tubuh, ia menutup pintu loker dan duduk di bangku panjang, menunggu Liam yang masih mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Nggak terlalu tahu sih gue kalau soal itu. Coba lo tanya Lilly, akhir-akhir ini dia lagi dekat sama cewek itu, kan?"
Mendengar nama Lilly disebutkan, Arav seketika langsung malas. Bukan, dia bukan benci atau semacamnya, cuma Lilly kemarin pernah membuat dirinya risih dengan ajakan-ajakan interview untuk kolom Student of The Year. Bukannya tidak merasa terhormat bisa nampang di kolom itu, cuma Arav tak suka dengan perhatian-perhatian khusus yang akan jadi efek sampingnya. Dia cuma diam saja label Ice Prince yang benar-benar norak itu tertempel di dahinya, apalagi mengiyakan ajakan interview itu? Dia nggak pernah nyaman untuk dapat perhatian-perhatian semacam itu.
Kini kedua cowok yang sama jangkungnya itu berjalan keluar dari kamar ganti menyusuri tepian kolam renang. Arav menyempatkan menengadah untuk mencari sosok Sam di kursi penonton and there she is. Sambil mendengarkan Liam yang mulai berbicara, Arav terus memperhatian cewek yang kini sedang sibuk dengan smartphone-nya, membuat wajahnya terlihat sedikit lebih jelas karena cahaya dari layar.
"Teman gue pernah mau deketin si Samara itu. Lo inget Hilal anak band sekolah itu, kan?"
Arav langsung ingat sosok cowok tinggi, kurus, berkulit sawo matang yang menjadi gitaris band sekolah itu. Tak cukup tampan, tapi keahlian bermain gitar membuat ia juga disukai cewek-cewek Byron. Khususnya yang suka dengan cowok bergaya grunge dan berantakan seperti Kurt Cobain.
"Selama seminggu dia berusaha untuk you know, writing poems to express his feeling towards her, because that's his thing. Dia kasih ke Sam secara langsung selama seminggu, but nothing's changed."
"Tapi dia nerima puisi-puisi itu juga?"
"Ada dua versi cerita:
1. Versi Hilal yang bilang kalau Sam kelihatan blushing atau apa lah waktu nerimanya.
2. Versi teman-teman band-nya yang ngelihat kalau Sam nerima cuma karena biar Hilal cepat pergi aja."
Mendengar itu Arav langsung berkata, "Gue lebih percaya versi yang kedua."
"Semua orang juga bilang begitu. Gue pernah lihat sendiri waktu Sam nerima, dia kayak oh love poems, alright, go."
Arav bisa membayangkan bagaimana raut wajah datar itu ketika menerima sepucuk puisi yang merupakan pendekatan paling murahan yang pernah Arav dengar. Oke, Hilal memang terkenal jago menulis lirik lagu, tapi memberi puisi cinta sebagai pendekatan? Mungkin ini hanya sentimen Arav yang sedikit merasa terganggu karena tahu ternyata ada cowok lain yang menyukai Sam, tapi menurutnya puisi cinta tak cukup menjadi medium mengungkapkan perasaan.
"Akhir perjuangan Hilal itu waktu dia ngajak pergi Sam ke konser sekolah, tapi setahu gue si Sam nolak dan langsung ngomong kalau nggak tertarik dengan acaranya dan juga Hilal."
"So, she's very straight forward."
"She made her lab partner cried, she's mean," kata Liam menambahkan.
"I still find her interesting."
"Opini gue, Sam itu memang cukup atraktif, nggak jelek-jelek amat, lah. Tapi udah tahu reputasinya begitu, keinginan gue buat deketin jadi nol. Apalagi gue pernah lihat langsung gimana dinginnya dia marahin Tania gara-gara lupa nyiram tanaman. Bud, you should see her face, it's like she's gonna eat Tania alive."
Arav tertawa melihat bagaimana ekspresi Liam mengingat cerita yang pernah membuat Sam jadi bulan-bulanan. Waktu itu Arav cukup kasihan karena tak seorang pun mau mendekati cewek itu. Tapi karena kemudian Lilly si reporter sekolah yang sangat ingin tahu itu selalu berada di sisi Sam, Arav jadi mengurungkan niat untuk mendekati. Lagipula, setelah dipikir-pikir lagi, bukan waktu yang tepat untuk menambah alasan bagi orang-orang memberikan lampu sorot lebih terang bagi Sam dengan mendekatinya. Status Ice Prince super norak ini membuat Arav makin menahan keinginan untuk duduk di sampingnya saat makan siang. Sekedar menemani, tak mengobrol pun bukan masalah.
Ide yang kemudian muncul di kepalanya ini seharusnya tak boleh ia selami lebih dalam. Arav seharusnya tak memikirkan tentang bagaimana agar bisa lebih dekat dengan Sam karena kini ia telah kelas sembilan, fokusnya harus ke pelajaran dan ujian akhir. Tapi tiga tahun sudah cukup bagi Arav untuk menjadi pemerhati Sam. Ia ingin tahu apa yang dilakukan cewek itu selama ekskul berenang di kursi penonton? Siapa yang dapat perhatiannya?
Liam tiba-tiba menoyor bahunya cukup keras hingga membuat Arav langsung memukul lengan temannya itu otomatis. "Lo kalau suka maju, nggak senyum-senyum sendiri begitu."
"Don't worry, I will."
"Good luck for that, Bud. Samara Harmandir? Not easy." Peringatan Liam itu terus memenuhi kepalanya hingga mobil jemputannya datang, hingga ia kini duduk di meja belajar hendak mengerjakan tugas Sosiologi tapi konsentrasinya malah terpecah karena ia baru saja dapat informasi dari Liam lewat chat.
Liam Geller: Mitch pernah ketemu dia berenang pagi-pagi, kali aja lo butuh infonya.
Arav Kazan: Thanks, Bud.
Liam Geller: I tell you, first love never comes as an easy one. Ceweknya model begitu pula.
Arav Kazan: She's not my first love.
Liam Geller: Whatever. Good luck.
_______________
Hello again everyone!
Karena masih suasana tahun baru dan katanya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, aku ingin mengucapkan: Selamat Tahun Baru!
Anyway, semoga kalian tidak kecewa dengan lanjutan part yang mungkin tidak menjawab rasa penasaran kalian tentang bagaimana first date ala ala Sam dan Arav. Aku lagi kepingin eksplor cerita dari sisi Arav dan yang jelas ini bakal nyambung kok sama lanjutan cerita utamanya.
Please tell me on the comment box, gimana menurut kalian bagian special part ini? FYI, masukan-masukan kalian benar-benar kutampung dan sangat kuapresiasi. Bahkan beberapa saran tentang jalan cerita bikin aku dapat pencerahan untuk melanjutkan cerita ini. Jadi jangan sungkan ya buat komentar.
Thank you sudah sabar nunggu update AYG yang sempat tersendat, juga saran dan suntikan semangatnya! *blow kisses*
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone [Sudah Terbit]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] After You've Gone "Karena kamu hidupku jadi berwarna" oleh Ardelia Karisa _______________ Jika dianalogikan, kehidupan Sam itu mirip dengan masakan barat yang berbumbu minimalis. Tapi, tidak lagi setelah satu orang paling b...