Lima belas menit lalu, ibu yang berjanji akan menjemput Sam seharusnya sudah tiba. Membayar hari ibu-anak yang tertunda tempo hari, ibu membujuk dirinya ijin tak ke kantor dan mengiyakan ajakan fitting pakaian di butik langganan ibu. Sejak pagi sentimental itu terjadi, entah kenapa Sam kini jadi lebih menurut dan tak menghindar dengan ajakan-ajakan ibu yang selalu dilabel Sam 'tak penting'. Biasanya Sam lebih memilih ke kantor ayah, mempelajari berkas-berkas atau hanya sekedar berjalan-jalan di kantor berlantai dua itu sekaligus sedikit beramah tamah dengan para staf.
Ketika tahu jika kini Sam menangani Free Friday lebih serius, ibu mengajaknya untuk berbelanja pakaian. Apalagi kemarin Sam ijin pula dengan ibu agar diperbolehkan pulang malam karena akan menghadiri pool party Kai. Beliau langsung sibuk memesan pakaian yang sekiranya cocok dengan tema pesta yang kata Kai bakal kental dengan nuansa 60-an.
And, well, surprise!
Nggak ada alasan lain bagi Sam ketika akhirnya menerima undangan itu selain ia ingin sekali saja menuruti keinginan Kai, meninggalkan kesan baik, lalu kembali menjauh. Belum tahu sih, bagaimana Sam akan mendorong cowok itu jika nantinya dia nggak memenuhi janji untuk tak lagi mengganggu Sam. Tapi ya sudah lah, kini Sam ingin berharap saja jika omongan Kai yang waktu itu berjanji tak pernah mendekati lagi setelah pool party bisa dipegang.
Kini tepat tujuh belas menit dari bel kelas terakhir berbunyi. Tapi sampai coffee blended dengan tambahan satu shot kopi yang dipesan Sam selesai dibuat, tak ada pemberitahuan dari aplikasi Byron jika jemputannya sudah datang menunggu. Khawatir jika ibu lagi-lagi membatalkan acara hari ini seperti sebelumnya, Sam berusaha untuk lebih sabar menunggu dengan duduk di spot yang sama saat perbincangan terakhir dengan Lilly terjadi beberapa minggu lalu.
Terima kasih pada ibu yang terlambat menjemputnya, setelah beberapa minggu menghindar untuk menginjakkan kaki ke kafe, sore yang terasa panas dan lembab ini akhirnya tak memberikan banyak pilihan. Ketika Sam duduk di sofa berwarna hijau yang beberapa minggu lalu penghuninya masih jelas keberadaannya, memori tentang Lilly mulai menggerayanginya lagi. Baru saja Sam hendak pindah tempat duduk, tiba-tiba sofa di depannya diisi oleh Arav. Ia meletakkan botol jus dingin di atas meja, menaruh tasnya, lalu melempar senyum samar namun ramah pada Sam.
Walaupun mereka kini mengenal ritual saling sapa ketika bertemu di loker, tapi Sam tetap saja merasakan dorongan untuk menghindar dari apapun yang akan terjadi setelah ini. Berusaha keras mengusir keinginan untuk meninggalkan Arav yang sepertinya baru saja berenang karena bau kaporit dari rambutnya yang masih basah samar tercium, Sam tetap duduk di tempatnya walaupun kini merasa makin tak nyaman.
"Tempat duduk lain udah penuh," kata Arav dengan suara berat dan sedikit seraknya.
Sam mengedarkan pandangan dan memang benar, sore itu banyak siswa Byron yang mampir untuk melegakan dahaga terlebih dahulu sebelum pulang. Dan sepertinya karena Sam tak juga merespon, Arav akhirnya memutuskan kontak mata yang terjadi beberapa detik diantara mereka itu. Ia kini sibuk membuka laptop sambil sesekali menenggak minumannya.
"Gue nggak ganggu lo, kan?"
Belum sempat Sam menjawab, sebuah pesan dari aplikasi sekolah mengatakan jika mobil ibu telah menunggu. Mendengar suara notifikasi itu, Sam sedikit merasa lega. Ide jika sore ini bakal ia habiskan menunggu ibu bersama Arav yang duduk di depannya sempat membuat Sam ingin cepat-cepat menghabiskan kopi sehingga ada alasan untuk mengundurkan diri lebih dulu. Dia nggak mau bertingkah bodoh di depan Arav. Atau ketahuan tak bisa melepaskan pandangan dari cowok yang tak pernah terlihat terlalu berusaha untuk tampil menarik. Bahkan sekarang, saat seragamnya telah kusut dan dengan rambut setengah basah yang berantakan ia masih terlihat atraktif. Setidaknya di mata Sam.
"Lo udah dijemput?"
"Iya." Kata Sam berusaha tetap menjaga nada bicaranya yang datar walaupun berkali-kali ia menyumpah dalam hati karena debaran jantungnya yang tak biasa setiap kali berhadapan dengan Arav. "Gue duluan."
"Gue antar ke pick-up point."
Sam masih membeku, reaksi spontan ketika Arav dengan santainya menawarkan jasa tadi layaknya mereka sudah berteman dekat. Lilly yang dulu dekat dengan Sam saja tak pernah menawarkan jasa untuk menemani jalan ke pick-up point yang letaknya lumayan jauh dari kafe sekolah ini. Tapi Arav sepertinya telah bulat dengan keputusannya, jadi tanpa perlu mendengar persetujuan dari Sam, ia kembali memasukkan laptop, menyampirkan postman bag yang terlihat penuh dan berat itu kemudian berkata, "Yuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone [Sudah Terbit]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] After You've Gone "Karena kamu hidupku jadi berwarna" oleh Ardelia Karisa _______________ Jika dianalogikan, kehidupan Sam itu mirip dengan masakan barat yang berbumbu minimalis. Tapi, tidak lagi setelah satu orang paling b...