"Cinta tidaklah mudah karena urusan cinta dengan hati, bukan dengan otak yang bisa kita atur semaunya."
Pintu kamar itu terus menerus di gedor hingga sang pemilik didalam sana merasa risih dan pada akhirnya memilih menyerah. Cowok itu menghela nafas. Memandang malas pintu kamarnya yang diketuk seorang wanita dari luar. Dalvin bangkit dan meletakkan gitar coklat yang sejak tadi ia mainkan.
"Dalvin! Buka pintunya, Dalvin!" Suara nyaring itu tak henti menyerukan namanya. Dalvin mengacak rambut frustasi sambil berjalan kearah pintu.
"Iya iyaa tunggu," teriaknya kesal kemudian membuka pintu kamarnya tak ikhlas.
"Dalvin! Yaampun ini anak kebiasaan banget, kalo dipanggil itu nyahut" semprot kakak sulungnya berkacak pinggang. Wajah wanita itu terlihat jengkel. Jessie yang sudah lengkap dengan seragam dokternya itu memperhatikan Dalvin dari ujung kaki sampai rambut.
"Astaghfirullh, lo adek gua atau gembel sih?"
Dalvin menunduk. Memandangi tubuhnya yang hanya menggunakan celana longgar dan baju kaos biasa.
"Gembel" celetuknya dengan cengiran. Wanita itu memutar bola mata.
"Lo udah mandi?" Tanya Jessie. Dalvin menggeleng membuat jessie menepuk jidat. "Yaampun ini udah jam 8"
"Terus?" Tanya Dalvin cuek.
"Gue harus berangkat kerja sekarang"
"Terus?"
"Terus mulu lo macem tukang parkir. Anter gua ke kantor"
"Nggak mau!" Tolak Dalvin cepat. Ini hari libur terkahir. Dia ingin menikmati waktu luangnya tanpa keluar rumah. Cowok itu hendak menutup pintu namun Jessie lebih dulu menahannya dengan kaki.
Dalvin mendesah. "minta pak umang aja anterin"
"Pak umang pulang kampung, istrinya lahiran," jelas Jessie mengingat supir pribadi keluarga mereka sedang cuti.
"Lo naik taksi aja Jes."
Jessie melotot. "Panggil gue Kak!"
"Iya Jessie"
"Gracious Dalvin!" Bentak Jessie jengkel.
"Gracious Jessie!" Dalvin mengikuti gaya Jessie membentakknya kemudian terkekeh pelan.
"YaAllah sabarkan hamba." Jessie memejamkan mata, mengangkat tangan seakan-akan sedang berdoa. "Ayo deh Dek anter Kakak ya?" Jessie berucap lembut. Memanggil Dalvin dengan sebutan 'dek' dan dirinya 'kak' persis seperti waktu mereka masih sama-sama kecil.
"Tapi gua belum mandi"
"Yaudah mandi sana" suruh Jessie.
"Bentar deh, ada bayarannya gak nih?"
"Hmmm... ada"
"Apa?! Gitar baru ya?" Tanya Dalvin sumringah. Jessie menggerutu dalam hati. Giliran ada hadiah adiknya itu bersemangat.
"Ntaaaar, bagus banget bayarannya. Tapi lo mandi dulu" Jessie membalik tubuh Dalvin kemudian mendorong cowok itu masuk ke dalam kamar. Untuk memastikan Dalvin benar-benar mandi Jessie ikut masuk ke dalam kamar adik laki-lakinya itu.
Warna gelap biru dongker langsung menyambut pengelihatan Jessie. Bau khas kamar anak cowok menyeruak, membuat Jessie mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung. "Ish bau banget ini kamar" gerutu Jessie membuat Dalvin menoleh sambil melotot.
"Siapa suruh masuk, keluar makanya" cibir Dalvin sewot, dirinya merasa tersinggung. Jessie malah terkekeh kemudian duduk di pinggiran kasur.
"Dasar gila" Dalvin bergumam sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi.
Sebuah bingkai foto kecil di atas meja belajar Dalvin menarik perhatian Jessie. Membuatnya bangkit dari duduk kemudian mendekat menuju meja bersama mata penasarannya. Jessie tersenyum miris ketika foto itu kini berada di tangannya. Kapan Dalvin bisa melupakan masa lalu jika hal sekecil ini masih ia simpan.
Jessie tidak mau adik kecilnya itu terus berkubang dalam lingkaran yang itu-itu saja. Gadis yang ada di dalam foto itu sudah tidak memiliki harapan hidup. Dalvin tak boleh berharap terlalu besar padanya, karena Jessie yakin gadis bersurai hitam dengan lesung pipit di dalam foto itu juga ingin Dalvin hidup lebih bahagia.
Jika terus begini Jessie harus bertindak. Salahnya juga dulu ia mengenalkan Dalvin dengan gadis manis itu.
Tak butuh waktu lama, Dalvin kini sudah selesai mandi. Cowok itu keluar dengan tubuh bawah tertutup handuk sementara atas tidak. Jessie yang sudah kembali duduk di pinggir kasur menoleh kemudian mengangkat jempol. "Bagus" pujinya. "Kan ganteng kalo udah mandi"
"Yaudah sana keluar mau make baju gua"
"Make aja emang kenapa?"
"Ya elo keluar."
"Diem aja disini."
"Wah lo cabul, parah."
Jessie buru-buru memukul kepala adiknya yang asal nyerocos. "Dulu juga gue makein lu baju," sungutnya. "Dulu juga lo ngerengek minta mandi sama gua"
"Itu kan duluuuu, belasan tahun yang lalu. Gue aja udah lupa. Ayo dehh biar cepet lu keluar dulu"
"Iya iyaa, tapi jangan lama-lama?"
"Zzzz iya"
****
"Kalian nggak sarapan dulu?" Begitulah pertanyaan dari Mama mereka sebelum Dalvin dan Jessie berangkat. Kedua bersaudara itu menggeleng. Pertama karena Jessie harus cepat-cepat sampai kantor, kedua karena Dalvin ingin cepat-cepat sampai rumah sakit dan bertemu gadis itu.
Di dalam mobil pun Jessie dan Dalvin tetap bercekcok seperti tidak tahu tempat. Kali ini yang dipermasalahkan adalah musik yang mereka dengarkan. Dalvin ingin memutar lagu band rock yang ia suka sementara Jessie ingin mendengarkan lagu Justin Bieber.
"Dalvin! jangan diganti" Jessie memarahi adiknya. Kini suara Justin Bieber telah berganti dengan suara teriakan dan musik perusak gendang telinga. Dalvin tak menghiraukan Jessie, cowok itu sibuk mengangguk-nganggukan kepalanya.
Jessie mendengus kemudian menekan tombol off. Hening, anggukan kepala Dalvin terhenti. Cowok itu menoleh kemudian memandangi Jessie dengan tatapan yang seakan berkata Why?
"Gue gasuka lagunya"
"Tapi gue suka" Dalvin menghidupkan lagi. Suara tarikan urat leher itu terdengar kembali.
"Dalvin stop! Ini mobil gue! Lo gaboleh dengerin lagu gila itu disini."
"Tapi kan gue yang nyetir." Dalvin menyeringai "Oh atau lo mau gue turun?" Kecepatan mobil melambat. Mau tak mau Jessie mengalah. Dia memang punya mobil tapi dia tidak bisa nyetir. Aneh kan? Jadi kali ini Jessie harus mengalah. Membiarkan telinganya pagi ini mendengar sesuatu yang tak bermanfaat.
Selesai satu lagu yang disukai Dalvin akhirnya mereka sampai di parkiran rumah sakit. Jessie membuang nafas kasar. Akhirnya suara gila tadi yang membuat kepalanya pening menghilang. Cewek itu turun dari mobil. Ia menatap bingung Dalvin yang juga ikut turun.
"Mau ngapain?" Tanya Jessie heran. Memandangi adiknya yang kini berdiri berhadapan dengannya.
"Jenguk Kanya" jawab cowok itu ceria.
Air muka Jessie lantas berubah. Sebersit rasa tidak suka ia rasakan. Jessie tidak melarang Dalvin berteman dengan siapapun, apalagi Kanya, gadis belia itu adalah salah satu anak yang dibesarkan yayasan Bakti Jiwa. Yayasan yang didirikan orang tuanya bagi yatim piatu yang mengidap suatu penyakit serius namun tak memiliki biaya untuk berobat. Tentu Jessie tidak akan keberatan, yang ia khawatirkan adalah Dalvin menyimpan hatinya untuk Kanya.
Jessie bukan Tuhan, tapi dia seorang dokter yang sudah cukup ilmu untuk tahu hidup Kanya tidak lama lagi, bukankah lebih baik mencegah sebelum nantinya rasa itu semakin dalam dan pada akhirnya membuat sakit?
TBC
kita mulai masuk konflik dikit ya😆
Yang mau Bela Dalvin baikan angkat kaki!
Sori update malem-malem gini, pengen tau aja ada yang masih hidup atau nggak:/
Yayyy viewers "Dear Heart, Why Him?" Sudah mencapai angka 200k+ yayyy haula senanggg😄😄😄 terimakasih semuanyaaaaaa
![](https://img.wattpad.com/cover/87557642-288-k999019.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Heart, Why Him?[Completed]
JugendliteraturDear Heart, Why Him? "Ketika benci mengundang cinta" a story by Haula S "Pelajaran yang Bela dapatkan saat mencintai Dalvin adalah jangan mengharapkan sesuatu yang indah saat jatuh cinta, tapi sibuklah mempersiapkan hatimu untuk menghadapi ser...