"Dalvin kok lo diem aja sih dari tadi?" Bela menatap cowok itu yang sedang mengendarai mobil. Jaket hitamnya sudah ia buka dan hanya menyisakan kaos putih. Dalvin tidak menjawab, wajahnya serius memandang ke depan.
"Vin." Panggil Bela. Kali ini cowok itu menjawab, namun hanya dengan deheman pendek.
"Lo kenapa si? Ngomong dong, gue jadi takut nih. Lo nggak kesambet kan?" Bela menggaruk belakang kepala. Kebingungannya semakin bertambah setelah Dalvin tertawa kecil sambil sesekali melirik kearahnya. "YaAllah, lo kesambetnya jangan pas lagi nyetir dong."
"Gue gamungkin kesambet elah. Kenapa lo jadi bloon gini si? Padahal gue ninggal dua hari aja."
Bela mencebikkan bibirnya. "Yeee kan dari tadi elo yang nggak ngomong, kan gue bingung."
"Bel."
"Apa?"
Dalvin tak menyahut lagi, otaknya sedang sibuk berfikir dan menentukan apakah ia akan mengatakannya pada Bela. Pada akhirnya cowok itu urung bicara. "Gajadi."
Bela mendengus. "Tau gak sih Vin, ngomong itu nggak boleh setengah-setengah. Pamali, ntar kumis lo tumbuhnya setengah doang, ngeri kan?"
Dalvin terkekeh, fokusnya masih pada jalanan di depan. Membawa mobil hitamnya melaju dengan kecepatan konstan. "Lo udah cerewet lagi ke gue, bagus deh. Itu artinya lo udah tulus maafin gue."
"Dalvin gak nyambung sumpah, tadi mau ngomong apa?"
"Nggak ada."
"Ih, ngomong nggak?" Bela mengepalkan tangan ke arah Dalvin. Mengancam cowok itu agar mau bicara. Sayangnya Dalvin tidak takut pada ancaman Bela, ia malah menggeleng sambil melipat bibirnya bungkam.
Bela melipat tangan di depan dada dengan wajah sebal. "Gue doain kumis lo tumbuh setengah."
"Biasanya doa itu akan kembali pada yang mengucapkan." Sahut Dalvin santai, wajah cueknya terlihat sangat menyebalkan di mata Bela.
Karena ucapan Dalvin tadi Bela jadi merasa takut, cewek itu perlahan meraba bagian atas bibirnya. Otaknya jadi membayangkan di perbatasan bibir dan hidunhnya akan tumbh kumis tebal. Ia menggeleng sambil memejam kuat. "Nggak! Cewek mana ada yang kumisan."
"Ya siapa tau, besok pagi pas baru bangun tuh kumis lo udah tumbuh."
"Lo aja sana kumisan." Sahut Bela keki. Ia menatap Dalvin bengis membuat sebelah alis Dalvin terangkat.
"Nggak ah, ntar kegantengan gue bertambah."
"Idiiihh pede banget si lo."
"Pede itu sehat." Kata Dalvin ringan, Bela segera memutar bola matanya.
"Nih." Dalvin menyodorkan sebuah dompet berwarna pink dengan tangan kirinya sementara tangan kanan tetap berkerja pada kemudi. Entah darimana cowok itu mendapatkannya. Bela tak melihat dompet itu sejak tadi, mungkin bersasal dari saku celana Dalvin. "Buat lo." Lanjut Dalvin menggerakan dompet tersebut di depan Bela karena tidak ada reaksi sama sekali dari cewek itu."Buat gue?"
"Iyalah dodol, buat siapa lagi? Masa buat mahluk gaib yang ada di dalam mobil ini."
"Kali aja gitu lo mau ngasi mereka." Bela meraih dompet tersebut dari tangan Dalvin, memperhatikannya lamat. "Thanks." Ekor mata Bela melirik Dalvin yang saat ini sedang tersenyum kepadanya.
"Sama-sama, itu bokap gue yang beli di luar kota. Nyuruh gue kasi ke temen cewek."
"Owhhh..." Bela mengangguk-ngangguk. "Kenapa harus pink?"
"Nggak suka?"
Bela menggeleng. "Suka kok. Cuma kurang menggambarkan diri gue aja. Gue sukanya yang warna gelap, hitam contohnya."
"Lain kali gue beliin yang item deh."
"Eh bukan itu maksud gue." Ucap Bela salah tingkah. Wajahnya merona.
"Kalo maksud lo kayak gitu pun gapapa, santai aja. Kita kan temen, wajar kok kalo gue beliin lo sesuatu."
Bela tertawa hambar. Ia sendiri tidak tahu apa yang ia tertawakan. Tapi sepertinya yang harus ditertawai saat ini adalah dirinya sendiri. Aneh, Bela merasa sedih saat Dalvin menyebut status mereka hanyalah teman. Lantas Bela maunya apa?
"Sampai." Dalvin mematikan mesin mobilnya. Bela memandang sekitar dari balik kaca mobil sebelum akhirnya melompat keluar bersamaan dengan Dalvin. Bela memperbaiki letak tas di punggungnya. Tempat itu terasa sangat asing bagi Bela, namun satu hal yang Bela yakin, bangunan rumah dengan halaman luas di depannya kini adalah sebuah yayasan.
"Ini tempat tinggal Kanya, Bel." Bela menoleh pada Dalvin yang kini sudah berdiri di sebelahnya. "Yuk masuk." Dalvin menggenggam tangan Bela kemudian melangkah menuju bangunan lebar di depan mereka.
"Sebenarnya gue mau ngajakin lo jalan-jalan ke kebun binatang. Tapi kayaknya bakal lebih asik kesini deh."
Kini mereka sudah memasuki area dalam rumah tersebut. Bangunan itu mirip seperti sekolah. Terdapat kordor panjang yang di ujungnya terhubung dengan pintu masuk utama.
Sekitar 2 meter lagi mereka akan berada di depan pintu namun pintu tersebut lebih dulu terbuka. Seorang laki-laki berambut acak-acakan keluar dari sana. Reaksi Bela biasa saja, hanya terdapat kerutan tipis di dahinya sementara Dalvin terkejut dan sedetik kemudian cowok itu berteriak. "Oi Bro."
"Hai adik kecil." Cowok berambut acak-acakan tadi berjalan mendekat sambil memasang wajah jenaka setelah melihat genggaman tangan Dalvin dan Bela.
"Lo inget Laskar? Pacar dari cewek yang nyiram lo di kantin waktu itu?" Tanya Dalvin pada Bela. Kini mereka berdua berdiri berhadapan dengan cowok yang bernama Laskar itu.
"Inget."
"Nah gue udah bilang kan dia sepupu gue, kenalan dulu dah."
Laskar langsung menyodorkan tangan ke hadapan Bela. "Ternyata ini Bela yang asli, kalo dilihat langsung lebih cantik dari foto. Kenalin gue Laskar, lebih tepatnya Laskar Galih Galileo, keren ya nama gue." Ucap Laskar lantang dan percaya diri, lupa kalau penampilannya seperti gembel saat ini.
"Gue Bela." Keduanya berjabatan tangan sejenak.
"Dia ini anak kepala sekolah Bel. Entah gue gatau kenapa cewek yang nyiram lo dulu ga sadar kalo pacarnya itu anak kepsek."
"Kayaknya karena marga gue gak kayak nyokap." Sahut Laskar.
"Mungkin lebih tepatnya karena lo nyembunyiin identitas dan nggak pernah masuk sekolah." Dalvin tertawa.
"Nah, bener tuh!" Laskar menjentikkan jari.
"Lo ngapain kesini?" Dalvin memandang curiga Laskar.
"Nggak ada, bosen dirumah. Gue di omelin mulu. Jadilah gue minggat dari rumah dan kesini tadi pagi, dan gue ketiduran, baru bangun sekarang. Lo sendiri?"
"Rahasia." Jawab Dalvin cepat kemudian menyeringai. "lo kayaknya tadi mau pulang. Sana gih pulang." Lanjut Dalvin lengkap dengan nada mengusir.
"Nggak jadi, gue mau ikut kalian aja." Sahut Laskar enteng membuat Dalvin melempar tatapan tak suka padanya.
"Terserah lu penyu."
"Penyu?"
"Ya penyusah."
Dalvin mengajak Bela masuk. Melewati Laskar yang berdiri di hadapan mereka. Laskar yang tertinggal mengangkat bahu acuh kemudian ikut masuk ke dalam.
♡♡♡
TBC
Tunggu part c-nya ya😂 maaf ngilang lama. Utang update pasti aku bayar. Ini aku baru pulang gais. Besok ulangan fisika(curhat) Sekarang mau mandi dulu abis itu lanjut ketik dhwh :D bye
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Heart, Why Him?[Completed]
Teen FictionDear Heart, Why Him? "Ketika benci mengundang cinta" a story by Haula S "Pelajaran yang Bela dapatkan saat mencintai Dalvin adalah jangan mengharapkan sesuatu yang indah saat jatuh cinta, tapi sibuklah mempersiapkan hatimu untuk menghadapi ser...