Prolog

11.8K 472 14
                                    



Denisa pov

"Sist, kamu minjem pulpen kakak ya?" Tiba-tiba sebuah kepala muncul dari balik pintu kamar Karin.

"Eh iya, hehe maaf ya kak aku lupa balikin. Lagi dipake nih sama Denisa." Karin menunjuk pulpen yang sedari tadi ku pakai menulis. Terlihat kakaknya Karin masuk ke kamar dan menghampiri kami masih dengan menggunakan seragam putih abu-abunya.

"Eh, ini punya kakak kamu Rin?" Aku tampak kaget. "Maaf ya kak, aku ga tau. Ini kak makasih." Kataku kikuk sambil menyerahkan pulpen itu pada kakaknya Karin.

"Ga apa-apa, pake aja. Kakak cuma nanya doang kok." Tolak kakaknya Karin.

"Oh iya, ini temen sebangku aku kak. Denis, ini kakak aku yang paling ganteng! Kak Aldo." Karin memperkenalkan kami. Kak Aldo mengulurkan tangannya.

"Aldo."

"Denisa." Aku sedikit malu karena dari tadi kak Aldo tersenyum padaku. Atau aku yang terlalu percaya diri?

"Temannya Karin berarti temennya kakak juga." Kak Aldo melepaskan jabatan tangan kami. "Kalian lagi ngapain sih?" Tanya kak Aldo melihat kertas-kertas yang berserakan.

"Ga lagi ngapa-ngapain sih, cuma prakarya. Abis ini juga Denisa mau pulang." Karin menjelaskan. Ke dua kakak beradik itu menatapku.

"Emm iya, takutnya tante nyariin." Aku angkat bicara.

"Rumah kamu dimana emang?" Tanya kak Aldo.

"Satu komplek dari sini kak." Jawabku.

"Kamu pulang naik apa?" Ka Aldo bertanya lagi.

"Jalan kak! Dia aku anter ga mau! Coba ke kak bujuk!" Rengek Karin.

"Kamu pulang jalan?" Aku mengangguk. "Dianterin aja ya?" Aku menggeleng tegas. Kak Aldo menoleh pada Karin. "Kita ga boleh maksa orang Karin." Karin akhirnya diam.

Aku sebenarnya hanya tidak ingin merepotkan saja. Sudah cukup merepotkan dengan membuat prakarya kelompok yang semuanya dari Karin. Bahan, pralatan, bahkan pengerjaannya pun dirumah Karin! Aku tidak mungkin merepotkannya lagi dengan mengantarku.

"Tapi kamu ikut makan malem ya? Nanti kakak izin ke tante kamu deh." Kak Aldo kembali bersuara.

"Ga usah kak. Aku nanti makan dirumah aja." Tolakku lagi.

"Ga boleh nolak." Kak Aldo keluar dengan senyuman. Karin terlihat senang.

Aku menatap Karin dengan memelas.

"Aku ga mau ngerepotin kamu Rin." Ucapku jujur saat ka Aldo benar-benar sudah menghilang dari kamar Karin.

"Apaan sih kamu, ga ngerepotin kok."

"Denis." Aku langsung menoleh ke belakang. Merdu sekali suaranya saat memanggil namaku. Ku lihat kak Aldo kembali masuk sambil membawa telfon rumah. "Mana sini nomer tante kamu." Kak Aldo menyodorkan telfon padaku.

"Em ga usah kak ga apa-apa." Tolakku lagi. Tiba-tiba Karin menyikut pinggangku. Aku menoleh padanya.

"Ambil aja. Nanti kakak aku marah loh. Dia kalo marah serem." Heh? Sedikit takut aku kembali menoleh pada kak Aldo yang menatap kami dengan bingung. Aku jadi takut.

Dengan takut aku meraih telfonnya dan memencet nomer rumah tante Rika.

"Sini kakak aja yang ngomong sama tante kamu." Kak Aldo meraih telfon di tanganku. Aku tidak menolak. Takut dia marah! Kak Aldo mulai bicara ditelfon, yang ku yakini tanteku. Kak Aldo bicara dengan sangat sopan. Aku jadi makin takut. Soalnya yang aku tau, jika orang seperti kak Aldo marah itu lebih seram dari pada orang yang pemarah yang marah. -Oke aku ngaco-.

"Diizinin kok. Tapi jangan terlalu malem pulangnya katanya." Kak Aldo menyadarkanku yang sedang melamun.

"Eh, em. Makasih kak."

****

Berkumpul bersama keluarga Karin sangat menyenangkan. Tante Yulin sangat ramah padaku, om Edgar baik dan tegas, kak Aldo yang ramah dan tenang dan Karin yang periang. Keluarga yang sangat harmonis. Aku sangat iri dengan ke hangatan keluarga Karin.

"Emm maaf om, tante, Denisa kayanya harus pulang deh. Sudah setengah 7 nih." Aku berbicara sesopan mungkin. Kami masih berada dimeja makan. Tepatnya kami baru selesai makan. Memang aku terkesan tidak sopan karena habis makan langsung ingin pulang. Tapi ini sudah malam.

"Loh? Tante punya eskrim loh. Kamu ga mau nyoba dulu?" Tawar tante Yulin. Sebenarnya tawaran itu cukup menggiurkan. Tapi aku memilih menggeleng.

"Terimakasih tante, Denis langsung pulang aja." Aku tetap bicara sopan sambil melebarkan senyuman.

"Yah Denis." Karin cemberut.

"Jangan gitu dong Karin. Temen kamu kan pengen pulang." Tegur om Edgar papanya Karin. "Rumah kamu dimana? Biar om antar." Om Edgar menawarkan.

"Ga usah om, Denis jalan aja. Cuma di komplek Intan kok." Jawabku.

"Komplek intan? Kakak juga mau ke sana nih, mau kerumah temen kakak. Bareng aja yuk." Ajak kak Aldo.

"Nah iya tuh. Mendingan sama Aldo, dari pada sendiri." Tante Yulin mengiyakan. Aku sudah tidak bisa lagi menolak kebaikan keluarga ini. Mereka terlalu baik. Lagi pula aku tidak merepotkan kan? Akhirnya aku mengangguk.

Setelah berpamitan pada Karin dan orang tua Karin, aku mengikuti kak Aldo berjalan ke luar rumah.

"Kita naik sepeda aja ya." Aku mengangguk."Kamu bisa digonceng berdiri ga?" Tanya kak Aldo sambil mengeluarkan sepeda poligon dari bagasi. Aku melihat ke arah rok ku. Aku memakai rok panjang. Bagaimana bisa digonceng berdiri? Apa aku harus melipatnya?

"Eh eh, ga usah di lipat kalo ga bisa." Cegah kak Aldo saat aku baru saja ingin melipat rokku. "Kalo gitu kita naik sepedanya Karin aja." Kak Aldo memasukan sepeda gunung tadi dan mengeluarkan sepeda yang lebih kecil berwarnawarna pink dan berkeranjang. "Ayo naik." Ka Aldo menepuk goncengan duduk dibelakangnya.

"Emm, ga apa-apa ka? Itu kan sepeda cewe?" Tanyaku meyakinkan. Kak Aldo yang tampan mengendarai sepeda perempuan yang manis. Aku jadi tidak enak.

"Iya ga apa-apa. Ayo." Kak Aldo menarik tanganku sampai aku terduduk digoncengan belakang.

Sepeda berjalan dengan mulus. Kami jalan dalam diam. Untuk mengusir kebosanan, aku memandang sekitar. Jalanan komplek Karin sangat sepi dan gelap. Aku jadi takut.

"Coba deh bayangkan kalau tadi kamu jalan. Ihh serem deh jalan gelap gini sendiri." Kak Aldo mulai berbicara.

"Iya ya kak? Untung kakak anterin." Aku mulai merasa nyaman mengobrol dengan kak Aldo.

"Hahaha kamu sih susah dibilangin. Kemana nih?" Kak Aldo bertanya saat ada belokan. Aku menunjukan arah rumahku. "Oh iya, tadi Karin bisikin apa ke kamu?" Tanya kak Aldo. Mendengar itu aku jadi takut.

"Em katanya mendingan aku nurut dari pada kakak marah. Kakak serem katanya kalau marah." Aku berkata jujur. Kak Aldo malah tertawa.

"Jangan percaya sama Karin. Kakak baik kok." Kak Aldo membanggakan diri. Tapi masih ada ragu dihatiku. "Heh, kakak serius tau!" Aku terkekeh.

"Iya kak." Aku tersenyum walaupun kak Aldo tidak melihatnya. Tak lama kami sampai di rumahku.

"Makasih kak." Ucapku saat turun. "Abis ini mau ke rumah temen kakak?" Tanyaku.

"Emm engga. Kakak cuma mau anter kamu." Kak Aldo tersenyum. "Bye." Sepeda melaju meninggalkanku yang terpana karena kata-katanya.

****

DeepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang