Chapter 7

1.5K 64 3
                                    


"Kakak.. Kakak.. Kakak.." Rossah tak berhenti memanggil Kakaknya yang sedang di todong seseorang berpakaian hitam dari belakang dengan pistol. Rossah berusaha keras memanggil Kakaknya tetapi tidak berhasil. Detik berikutnya terdengar suara tembakan nyaring yang hampir membuatnya tuli kemudian pemandangan yang mengerikan terpampang di depan matanya. 
Richard dengan kepala di tembus peluru ambruk dengan darah segar mengalir dari kepalanya.

Rossah terbangun, napasnya terengah-engah, keringat dingin mengucur dari dahinya. Pandangannya masih abu-abu, dia mengusap butir keringat yang hampir mengenai matanya. Berkedip-kedip beberapa kali seperti baru kemasukan debu. Dia melihat sekeliling, sebuah kamar yang tidak asing baginya. Pintu lemari yang lupa ditutupnya menganga menampilkan isinya yang hampir berantakan, laptop, buku-buku, alat tulis dan tas brandednya berbaris di meja belajar. Dia menoleh ke arah berlawanan, jam dinding yang berdetak tak tak tak, bra yang tergantung di belakang pintu. Rossah tidak suka tidur memakai bra. Sekarang dia yakin sedang berada di  kamar di rumah kontrakannya. Tidak ada lagi yang mengacungkan pistol, tidak terdengar lagi suara tembakan walaupun dia masih mengingat suara itu di dalam kepalanya dan mengulangnya beberapa kali, kepala kakaknya yang bolong. Rossah menutup matanya erat dan mengeleng-geleng berharap pemandangan itu enyah dari pikirannya. Dia hanya mimpi, tapi tubuhnya tidak berhenti bergidik, Rossah ngeri membayangkan kalau suatu hari Kakaknya akan di bunuh seseorang seperti orang tuanya. Dia kembali menggeleng-gelengkan kepalanya sampai rambut kusutnya semakin kusut dan kembang. Hitung-hitung sekalian pemanasan leher. Setelah puas, dia mengambil iphone dari nakas samping tempat tidur. Sudah hampir jam enam pagi. Dia membuka riwayat panggilan dan men-dial nomor handphone kakaknya.

"Halo. Ada apa pagi-pagi,  Ross?" tanya Kakaknya di seberang telepon

"Kakak sedang apa?" tanyanya

"Aku baru bangun. Kenapa,  Ross?" tanya Richard tak menaruh curiga. Rossah membayangkan Kakaknya yang tidur setengah telanjang di balik selimut putih tebal. Dia kangen tempat tidurnya.

"Aku rindu kakak." kata Rossah dan seketika dia menangis. Lebih rindu sosok kakaknya dari pada tempat tidur.

"I miss you too." kata kakaknya lembut. Richard mengerang, menarik tubuhnya yang kaku. Rossah semakin terisak mendengar suara kakaknya. Dia hanya bisa membayangkan, tidak bisa melihat langsung. Dia ingat sejak kematian orang tuanya, mereka sering tidur bersama dan Kakaknya membisikkan di sela tangisnya, kini hanya tinggal kita berdua.

"Kenapa nangis? Mimpi buruk ya?" tebaknya

"Tidak." dustanya. Dia tidak sanggup mengatakan kalau dia mimpi Kakaknya di tembak. "Hanya rindu. Boleh aku berkunjung?"

"Jangan di kantor." cegahnya "Kita makan malam saja. Ok?"

"Baiklah. Tapi aku boleh bawa teman yah?"

"Teman?" tanya Richard. Kevin dan Anna?

"Iya, aku sudah punya teman di kampus. Anaknya ramah dan manis. Namanya Anna. Dia teman pertamaku, aku ingin perkenalkannya pada Kakak. Boleh yah." mohon nya

"Baiklah. Akan ku smskan tempat ketemuan kita nanti." Richard sudah mendengar tentang Anna dari Kevin. Richard tersenyum lucu karena adiknya tidak berani memperkenalkan teman gay padanya. Dia pasti takut di marahi kalau mengatakan punya teman Gay.

Sesuai dengan yang di pikirkan Richard, Rossah tidak berani memperkenalkan Kevin padanya. Dia tahu kalau kakaknya akan sensitif kalau Rossah punya teman laki-laki yang normal sekalipun, apalagi ini yang Gay. Rossah menebak apa yang akan kakaknya lakukan, mungkin menyembelih Kevin di tempat, atau menikahkannya dengan Gay, atau menjualnya ke kabaret,  entahlah. Situasi yang lebih parah lagi kalau sekarang sedang tinggal bersama di rumah kontrakannya. Dia tidak mau mengambil resiko untuk itu. Cukup memperkenalkan Anna pada kakaknya sebagai teman pertama dan satu-satunya. I'm sorry, Kev.

RossahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang