3 rasa - part 7

3.8K 284 11
                                    

#Sybil#

Aku keluar kamar menuju ruang makan dan ku dapati keluarga ku sudah lengkap berkumpul. Abi, umma dan adik-adikku, Zacky dan Firza. Sudah menempati kursi masing-masing.

Aku bukan anak sulung dari Abi tapi aku anak sulung dari umma. Aku punya Abang satu ayah beda ibu. Sebelum menikah dengan umma, Abi menikah dengan halati -panggilan untuk saudara ibu dalam bahasa Arab- kakak umma. Saat bang Azzam, anak Abi dan halati, berusia lima tahun, halati meninggal karena sakit. Lalu Abi menikah dengan umma yang tak lain adalah adik dari istrinya dan lahirlah aku, Zacky dan Firza.

"Hari ini mulai dampingi pasien dirumahnya ya?" tanya Abi begitu aku duduk disalah satu kursi makan.

"Iya." jawabku sambil mencomot tempe dari piring.

"Mulai nanti malam Kak Illa nginep disana?" tanya Firza. Nama panjangku Sybilla, kalau dirumah aku dipanggil Illa.

Aku menggeleng. "Kalo anaknya lahir baru kakak nginep sana."

"Ada siapa saja yang tinggal dirumah itu?" tanya Abi lagi disela-sela menyantap sarapannya.

"Intan dan suaminya. Ada pembantu juga katanya tapi pembantunya ngga nginep." jelasku.

Aku bersyukur Abi mengijinkan ku menerima pekerjaan ini asal aku tetap pulang setiap hari paling tidak satu atau dua jam yang penting pulang. Untung Intan juga tidak keberatan.

"Ya sudah yang penting ingat pesan Abi. Jaga kepercayaan Abi dan jaga diri. Bagaimanapun disana ada laki-laki yang bukan mahram mu. Abi ijinkan kau ambil pekerjaan ini karena Abi percaya kau bisa jaga diri. Jangan bikin malu orang tua." pesan Abi untuk kesekian kalinya sejak aku meminta ijin untuk mengambil pekerjaan ini, Abi terus mengingatkan untuk menjaga diri dan kepercayaannya.

"Siap bos." aku menyatukan ibu jari dan telunjuk ku membentuk lingkaran sambil tersenyum lebar.

Aku bersyukur terlahir dalam keluarga ini. Sungguh aku bersyukur. Walaupun bersifat keras tapi Abi punya segudang kasih sayang untuk anak-anaknya. Ada saatnya kami merasa takut dan segan tapi kami tetap tidak merasa canggung bercengkrama bersama.

Kalau orang tuaku bukan mereka, aku tidak akan sampai pada titik ini. Setidaknya mereka tidak berpikir kalau anak perempuan tidak perlu menuntut ilmu terlalu tinggi karena pada akhirnya akan berakhir di dapur. Yah, begitulah pemikiran kolot orang Arab untuk anak perempuan. Walau tidak semua tapi masih banyak yang berpikiran seperti itu. Tapi untungnya semakin kesini pemikiran kolot itu mulai terkikis dan orang tuaku salah satu orang tua yang menganggap pendidikan tetap penting baik untuk anak laki-laki maupun perempuan.

Seusai sarapan aku kembali ke kamar dan mengecek ponsel. Sepuluh panggilan tak terjawab dari nomor tidak dikenal. Siapa pagi-pagi begini meneleponku hingga berkali-kali. Ku hubungi balik, hingga nada sambung ketiga barulah panggilan ku dijawab.

"Sybil?" terdengar suara laki-laki diseberang langsung menyebut namaku bahkan tanpa mengucapkan salam lebih dulu.

"Ya. Ini siapa?"

"Baim. Kamu bisa kesini sekarang? Kayaknya Intan mau melahirkan." suaranya terdengar panik.

"Oh iya. Saya kesana sekarang." tanpa tanya panjang lebar, aku mengakhiri telepon. Segera ku sambar kerudung pashmina ku dan memakainya.

Hanya butuh waktu tidak sampai lima belas menit, aku sudah berada di jalan yang tertera pada kertas alamat yang diberikan oleh Intan kemarin. Aku masih mencari nomor rumah yang tepat hingga ku temukan sebuah rumah dengan gaya bangunan kuno. Aku masuk setelah memastikan alamatnya benar dan langsung mengetuk pintu.

3 RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang