#Sybil#
Suasana rumah sudah kembali normal. Teman-teman Baim sudah pulang tadi sore. Aku bisa kembali merasa nyaman di rumah ini. Bukannya aku tidak suka keramaian, hanya saja aku merasa tidak nyaman berada satu rumah dengan laki-laki. Menyesuaikan dengan Baim saja aku butuh waktu. Untung saja dulu ada Tante Rahmi jadi aku tidak terlalu risih karena masih ada orang tua di rumah. Sekarang Tante Rahmi sudah tidak ada, tapi paling tidak aku sudah terbiasa dengan Baim.
Suasana rumah memang sudah normal tapi penghuni rumahnya justru terlihat tidak normal. Ya, Baim terlihat tidak seperti biasanya. Sejak kemarin dia memang sudah terlihat aneh tapi hari ini lebih aneh lagi.
Aku keluar kamar, Kania tak juga tidur padahal sudah jam satu malam. Yah memang Kania biasanya baru akan tidur jam empat subuh. Aku sudah bosan di kamar dan betapa kagetnya aku ketika melihat pergerakan di ruang tengah apalagi dengan kondisi ruangan yang bisa dikatakan nyaris tanpa penerangan. Hanya seberkas cahaya dari ruang belakang.
Kunyalakan lampu ruang tengah dan kutemukan Baim duduk di sofa sambil melindungi matanya dari cahaya.
"Kok dinyalain lampunya," protesnya begitu ruangan terang.
"Kamu ngapain di sini gelap-gelapan, Im?" tanyaku heran.
Dia hanya bergumam tak jelas. Entah bicara apa.
Aku ikut duduk di salah satu sofa yang kosong lalu memperhatikan Baim. Dia duduk sambil bersedekap, kepalanya bersandar di sofa dan matanya terpejam. Tapi aku tahu dia bukan hendak tidur karena beberapa kali kudengar helaan nafas panjang dan keningnya berkerut seperti orang yang sedang berpikir. Dia bahkan masih memakai pakaiannya yang tadi. Masih lengkap dengan jaket dan celana jeans-nya. Tinggal bersamanya selama tiga minggu ini, aku tahu dia biasanya tidur hanya menggunakan kaus dan celana selutut atau celana panjang batik.
"Kamu ngga tidur di kamar aja?" tanyaku sambil menyalakan televisi. Berdua dengannya, eh bertiga dengan Kania juga, tapi kalau tidak ada suara lain rasanya canggung.
"Hmm," dia hanya bergumam.
"Tidur di kamar, Im." kali ini aku tidak bertanya tapi menyuruh.
Dia membuka mata sedikit, melihatku sekilas lalu kembali memejamkan mata. "Ngga bisa tidur di kamar," jawabnya.
"Memangnya bisa tidur di sini? Sambil duduk gitu," timpalku.
Dia berdecak lalu menggosokkan tangannya di leher. Matanya sudah terbuka, kini menatapku. "Kok kamu bawel ya?"
Aku mengerjap tak percaya mendengar apa yang baru saja dia katakan. "Bawel? Ini sudah jam satu, aku nyuruh kamu tidur malah dibilang bawel?" tanyaku. Jujur saja aku agak tersinggung. Apa yang salah dengan menyuruhnya tidur?
"Aku ngga mau tidur. Aku mau di sini. Kalo kamu ngerasa terganggu dengan adanya aku di sini, kamu aja yang masuk kamar," tukasnya.
Aku tertegun sejenak, lagi-lagi karena ucapan Baim. Sepertinya dia sedang dalam mood yang kurang bagus. Akhirnya kuputuskan diam, memilih mengelus-elus kepala Kania. Lalu mencari siaran yang menarik di televisi.
"Sorry," kata Baim setelah kami saling diam cukup lama.
Aku menoleh, lalu tersenyum padanya yang sedang menatapku. "Ngga apa-apa. Kalo kamu cewek, pasti aku udah mikir kalo kamu lagi PMS. Tapi kamu cowok, ngga mungkin PMS." Niatku bercanda agar kecanggungan tadi luntur.
Dia mendengus lalu tersenyum sekilas, benar-benar hanya menarik ujung bibirnya sedikit. Mataku masih mengikuti pergerakan tangannya melepas jaket lalu dia tidur berbaring di sofa, dengan lengan kanannya menempel pada kening. Ku pikir dia akan memejamkan mata, mulai untuk tidur, ternyata dia hanya memandangi langit-langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 RASA
RomanceIbrahim Hakam, pria yang harus rela menjadi duda bahkan di usianya yang belum genap memasuki kepala tiga, belum bisa melupakan mantan istrinya yang sudah menikah lagi dengan sahabatnya sendiri. Kini harus kembali berhadapan dengan perjodohan yang ti...