#Sybil#
Kurang dari dua minggu waktu yang tersisa dari kontrak kerjaku dengan Intan. Tak terasa sudah limapuluh hari aku berada di rumah itu. Walaupun masih pulang setiap hari tapi rasanya rumah itu sudah seperti rumah kedua bagiku. Yang awalnya asing, sekarang terasa nyaman. Yang tadinya canggung, sekarang terasa dekat. Bukan hanya dengan rumahnya tapi juga dengan penghuninya.
Mati-matian aku mengontrol perasaan aneh tiap kali aku bersama dengan Baim dan perasaan aneh lainnya tiap kali melihat Baim bersama Nina. Sejauh ini logikaku masih menang. Walau perasaan aneh itu terus berontak menggerogotiku dari dalam.
Saat ini aku sedang memutar otak bagaimana caranya mendapatkan ijin dari Abi untuk ikut Intan dan Baim ke Jember untuk menghadiri pernikahan Johan. Sebenarnya aku lebih senang kalo aku tidak harus ikut tapi Intan memaksa. Bagaimanapun juga aku masih terikat kontrak, masih tugasku mendampinginya walaupun hingga pergi keluar kota.
"Abi mau kerupuk," tawarku pada Abi. Kami sedang makan malam bersama. Aku selalu mengusahakan pulang ke rumah sebelum Maghrib dan kembali ke rumah Intan setelah isya, agar bisa makan malam bersama. Satu-satunya waktu dimana semua anggota keluargaku berkumpul. Karena kalau sarapan pagi biasanya Zack absen, masih tidur. Atau Firza sudah berangkat sekolah kalau ada bimbingan pagi.
"Iya boleh," kata Abi. Aku langsung mengambil toples kerupuk dan mengembalikannya kembali setelah Abi mengambil kerupuknya.
"Oia Bi, besok Intan mau ke Jember dan Ila diajak. Boleh kan?" kuatur sedemikian rupa nada bicaraku agar tidak terdengar gugup, apalagi jantungku di dalam sana mulai dag dig dug.
"Mau apa?" tanya Abi dengan nada bicara terkesan tidak suka.
"Hmm, ada yang nikah. Terus kan keluarga besar Intan memang di Jember jadi sekalian silaturahmi gitu katanya. Cuma dua hari kok. Berangkat Jumat siang, Minggu pagi udah balik pulang," jelasku cepat agar Abi tidak sempat menginterupsi.
"Tiga hari itu namanya," timpal Zack yang langsung kuhadiahi pelototan. Dia malah nyengir lebar.
"Dua hari! Kan Minggu udah di Malang lagi," ralatku atas kata-kata Zack. "Boleh ya, Bi?" sekarang aku bicara agak memelas.
"La..." Abi mengelap mulutnya dengan serbet sebelum lanjut bicara. Dari suaranya, feeling-ku bilang kalau jawabannya adalah tidak. "Ila kan sudah mau nikah sebentar lagi. Ndak baik pergi jauh-jauh dengan laki-laki. Ini saja rasanya Ila mau Abi suruh berhenti tapi karena sudah terlanjur, ya Abi sabar nunggu kontrak dengan Intan selesai. Jadi jangan minta yang lain-lain."
Aku diam. Bagaimanapun ucapan Abi benar tapi aku juga tidak enak menolak Intan, terkesan tidak profesional. Jadi aku harus bagaimana?
"Iya Ila tau." kuhela napas panjang. "Tapi..."
"Ndak ada tapi," potong Abi sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku.
"Seperti yang Abi bilang, Ila sudah terlanjur terikat kontrak. Selagi masih dalam masa kontrak kalo Ila nolak mendampingi kan ngga profesional, Bi." Aku mengajukan alasan, berharap Abi bisa memberi ijin.
"Ndak profesional ndak apa-apa. Daripada jadi bahan omongan orang," putus Abi. "Biar Abi yang ngomong sama Intan."
"Jangan," tolakku cepat. "Biar Ila aja," kataku dengan berat hati. Aku selalu bersyukur memiliki keluarga seperti keluargaku ini. Tapi ada saatnya terkadang aku ingin seperti orang lain yang tidak perduli dengan omongan orang. Orang Arab terlalu mengurusi urusan orang lain. Salah sedikit akan jadi bahan gosip. Aku menerima pekerjaan ini saja, ada keluarga atau teman yang bermulut nyinyir. Untung Fahmi bisa mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 RASA
RomansaIbrahim Hakam, pria yang harus rela menjadi duda bahkan di usianya yang belum genap memasuki kepala tiga, belum bisa melupakan mantan istrinya yang sudah menikah lagi dengan sahabatnya sendiri. Kini harus kembali berhadapan dengan perjodohan yang ti...