3 rasa - part 22

2.5K 234 2
                                    

#Baim#

Pagi ini cuaca Malang sangat tidak bersahabat. Untukku yang kategori penyuka hawa dingin saja terasa tak bersahabat apalagi untuk yang anti dingin. Tapi kewajiban harus dilaksanakan, kusingkap selimut, turun dari tempat tidur lalu keluar kamar untuk berwudhu sebelum menjalankan sholat subuh.

Aku terkejut ketika hendak membuka pintu kamar mandi, pintu itu terbuka lebih dulu padahal tanganku belum juga sampai pada knob pintu. Kaget bukan karena mengira pintu itu terbuka sendiri tapi kaget melihat seseorang yang keluar dari sana.

"Ya ampun, Bil." aku menahan tawa geliku melihat Sybil yang keluar dari kamar mandi berbalut selimut.

Dia nyengir lebar, merapatkan selimut pada tubuhnya. "Dingin banget. Aku ngga bawa jaket," katanya sambil keluar dari kamar mandi.

Aku bergeser, memberinya jalan untuk lewat. "Mau pinjem jaketku?" tawarku.

Dia menggeleng. "Ngga usah, ini cukup kok. Lagian di kamar lebih hangat. Aku duluan ya," pamitnya lalu berjalan cepat menuju kamarnya.

Aku tersenyum kecil melihatnya. Setelah dia sudah tidak terlihat, aku baru masuk kamar mandi. Geez, air di bak mandi seperti air yang baru keluar dari kulkas. Pantas saja Sybil sampai kedinginan begitu. Hampir dua bulan tinggal di rumah yang sama dengannya, aku jadi tahu kalau dia tidak tahan dingin. Sama seperti Sofia yang juga anti hawa dingin.

Well, buat apa juga aku membandingkan Sybil dengan Sofia. Belakangan ini, nama maupun hal lain yang berhubungan dengan Sofia sudah tidak lagi terlalu menggangguku. Tidak ada efek sesak atau sakit hati ketika aku mengingatnya. Itu kabar baik, kan? Tapi kabar buruknya, jantungku mulai berdetak tidak normal untuk orang yang tidak seharusnya. Siapa lagi kalau bukan Sybil.

Apa yang lebih buruk dari jatuh hati pada seseorang yang tidak mungkin bisa didapatkan? Tidak ada. Dan aku sudah pernah jatuh pada lubang itu. Sekarang sekali lagi aku jatuh di lubang yang sama. Bodoh, bukan? Tapi siapa yang bisa mengontrol perasaan? Silahkan acungkan tangan, biar aku bisa berguru untuk mengontrol perasaanku.

"Im," panggil Nina yang langsung bergelayut pada lenganku.

Kuhela napas panjang. Shit. Aku harus berwudhu lagi kan!

"Aku punya wudhu, Nin," gerutuku sembari melepas tangan Nina dari lenganku.

"Ya maaf, aku kan ngga tau. Wudhu aja lagi," timpalnya enteng.

"Dingin tau!"

"Aduh ada yang lebih penting nih, Im." Dia sama sekali tidak peduli dengan kekesalanku.

"Apa?" tanyaku. Awas saja kalau sampai tidak penting.

"Koki kepalaku barusan telepon dan aku disuruh masuk siang nanti. Nyebelin, kan!" dia bercerita dengan menggebu-gebu. "Gimana dong, Im?" rengeknya kemudian.

Aku tidak langsung menanggapi. Wajar kalau Nina kesal karena setahuku dia sudah mengajukan cuti sejak minggu lalu. Dia bahkan bertukar shift dengan teman kerjanya demi bisa mendapat libur sekaligus mengambil cuti untuk hari ini hingga hari Minggu. Tapi kacung tetap saja kacung. Kalau atasan sudah memerintahkan, si kacung bisa apa? Untung saja jam perkacunganku lebih jelas dibandingkan jam kerja Nina.

"Ya udah mau gimana lagi?" kuhedikkan bahuku. Memangnya aku bisa apa?

Nina memasang ekspresi memelas. "Aku pengen ikut," rengeknya lagi.

"Ya udah ikut aja."

"Terus?" timpalnya cepat.

"Ya paling kamu dapat SP atau mentok dipecat. Tinggal cari kerja lagi nanti," jawabku santai.

3 RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang