3 rasa - epilog

10.1K 500 68
                                    

#Baim#

"Abiiii."

Suara teriakan itu membuatku berbalik, bertepatan dengan seorang gadis kecil memelukku. Aku mengulum senyum, saat gadis kecil itu mendongak menatapku, senyumku melebar. Perlahan, gadis kecil itu mengurai pelukannya dengan malu-malu.

"Hayooo, Kia salah orang ya," goda Sybil, membuat Kia makin malu.

Aku tertawa geli melihat ekspresi tersipu Kia, lalu mengangkatnya ke gedonganku.

"Ini kan baju Abi," katanya.

"Iya, Ami Baim pinjam," sahut Sybil. Sekarang aku punya panggilan baru, Ami Baim. Awal-awalnya aneh tapi lama kelamaan mulai terbiasa. Waktu kuminta Kia memanggil Om, Sybil menentang keras. Katanya biar Kia tidak bingung jadi lebih baik aku dipanggil Ami saja sama seperti Zack. Oh, tidak benar-benar sama, karena panggilan untuk Zack dipersingkat menjadi Miky, kependekan dari Ami Zacky.

"Kenapa?" tanyanya polos.

"Ngga boleh ya, Ami Baim pinjam?" tanyaku balik. Terkadang pertanyaan anak kecil berhasil membuat orang dewasa berpikir keras. Meniru cara Azzam, kalau Kia sudah mulai banyak bertanya, dia akan melempar balik pertanyaan anaknya.

"Boleh," jawabnya disertai anggukan kecil.

Saat ini aku memang sedang menggunakan baju Azzam. Tahu kan gamis yang sering dipakai orang-orang Arab? Seperti itulah baju yang kupakai sekarang. Tadinya hanya iseng bertanya ketika melihat Azzam mengggunakan gamis, tapi dia malah mengambilkan gamisnya yang lain untuk kucoba.

Awalnya hanya ingin mencoba saja, tapi karena Sybil melihatku sampai tidak berkedip cukup lama, jadi kupakai saja untuk sholat dhuhur. Sekalian sambil terus menggoda Sybil. Walau tak punya hidung semancung Azzam, ternyata aku cocok juga menggunakan baju seperti ini.

"Lho, Kia sudah besar kok minta gendong?" tegur Azzam yang baru muncul dari dalam rumah. Sekarang kami sedang berada di teras.

"Ngga minta gendong, tapi Kia digendong," sahut Kia tidak terima, membuat kami semua tertawa. Gadis kecil ini begitu menggemaskan.

"Seruan mana Zam, anak cewek apa cowok?" tanyaku pada Azzam sambil menurunkan Kia dari gendonganku karena dia menggeliat minta diturunkan akibat kata-kata Azzam.

"Sama serunya. Tapi kalo cewek yang capek kuping. Cerewet banget. Kalo cowok yang capek badan, aktif banget, ngga bisa diam," jawab Azzam terlihat antusias. Aku selalu senang melihat para ayah yang membahas tentang anaknya dengan antusias. Bukti kalau mereka menikmati perannya. Selama ini aku selalu iri pada Marko tiap kali dia bercerita tentang Jeski. Membuatku tidak sabar menunggu juniorku.

"Memangnya belum ngecek ke dokter laki atau perempuan?" tanya Azzam sambil melirik Sybil sekilas lalu kembali melihatku.

Aku mengedikkan bahu. "Ngga mau. Katanya biar surprise."

Azzam berdecak. "Teknologi sudah canggih, ya dimanfaatkan," timpalnya, lebih ditujukan kepada Sybil.

"Yee, biarin dong, Bang. Ila pengennya nanti aja taunya waktu lahir. Kan lebih seru," ujar Sybil tak mau kalah.

"Ya gini, Im. Laki-laki zaman sekarang ngga pernah menang kalo ngomong lawan perempuan," ujar Azzam menyindir.

Aku tergelak. "Emansipasi, Zam."

Azzam ikut tertawa. "Cuma bisa ngelus dada," katanya yang membuat Sybil berdecak tak terima, lalu memberengut.

"Yuk, Bang." Istri Azzam keluar dari rumah sudah dengan pakaian rapi sambil menuntun Yusuf, adik Kia. Setahuku mereka memang akan pergi.

3 RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang