#Nina#
Aku berjalan hanya mengikuti kemana kakiku melangkah tanpa tujuan. Sudah tiga hari ini aku tidak menghubungi Baim, dia juga tidak menghubungiku. Sempat kupikir dia yang akan menghubungiku lebih dulu. Tapi nihil hingga sekarang.
Bagaimanapun aku berhak mendapat penjelasan kan? Kenapa dia tidak memberitahukan kedatangan Sofia. Atau paling tidak dia bisa menjadikanku sandarannya. Aku tahu dia sedang butuh seseorang sekarang. Tapi kenapa dia tidak datang? Kenapa dia seperti tidak membutuhkanku?
Aku sudah mulai muak. Tetap saja aku tidak ada artinya bagi Baim. Sebaik apapun aku bersikap di depannya, dia tetap tidak akan bisa melupakan Sofia. Jadi apa gunanya dia memulai hubungan denganku?
Goddamn it!
"Mau kemana, Nin?" tanya seseorang yang mencekal pergelangan tanganku, membuatku menoleh.
"Irfan." aku agak kaget melihat Irfan berdiri di depanku. Sedang apa dia disini?
"Mau kemana?" tanyanya lagi.
"Kamu ngapain disini?" alih-alih menjawab pertanyaan Irfan, aku malah bertanya balik.
Irfan menatapku lekat seolah sedang menelisik setiap detail di wajahku. "Kamu kenapa? Gara-gara cowok itu, kamu jadi seperti ini? Jangan bilang kalo kamu ngga cinta sama dia kalau kamu jadi sekacau ini karena dia," tandasnya tanpa melepaskan matanya dari mataku.
Aku membuang muka, menghindari tatapan Irfan yang terkesan mengintimidasi. Aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Hubungan kami memang hanya berumur dua hari saja. Begitu Baim menyetujui berpacaran denganku, langsung kuputuskan hubungan dengan Irfan.
Kuceritakan padanya tentang tradisi perjodohan di keluargaku. Sempat terpikir kalau dia akan marah dan tidak terima, tapi ternyata tidak. Dia hanya tanya padaku apakah aku mencintai cowok yang dijodohkan denganku dan tentu saja kujawab tidak. Saat itu apa yang dikatakannya benar-benar diluar dugaanku.
"Kalau suatu hari kamu ngerasa cowok itu bukan yang terbaik buat kamu. Liat ke belakang, ada aku yang nunggu kamu."
Kalau saja bukan karena Baim, sudah pasti aku tidak akan melepas Irfan. Seumur-umur belum pernah aku menangis ketika putus pacaran, tapi Irfan berhasil membuatku menangis saat itu. Aku merasa sudah jahat padanya. Padahal sebelum-sebelumnya, aku tidak pernah peduli walau pacar-pacarku sampai memohon agar aku tidak memutuskan mereka.
Aku terkejut ketika tiba-tiba Irfan memelukku. Satu tangannya mengelus lembut kepalaku. "Tinggalin dia kalo kamu ngga bahagia. Aku sudah bilang kan, aku nunggu kamu," bisiknya lirih.
Mendengarnya bicara seperti itu, mataku memanas. Tanpa bisa kutahan, aku mulai terisak. Kubalas pelukan Irfan dengan erat. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kutangisi sekarang. Aku hanya ingin menangis. Berada dalam pelukan Irfan rasanya nyaman.
Setelah tangisku reda, Irfan melepas pelukannya. Dia menangkupkan kedua tangannya di pipiku. Matanya menatap mataku dalam-dalam, penuh cinta. Dia menggerakkan ibu jarinya menghapus sisa-sisa air mataku. Lalu wajahnya mulai mendekat hingga tanpa batas lagi. Kupejamkan mataku saat bibir Irfan menyentuh bibirku. Sebuah lumatan lembut kurasakan.
Tak lama, dia melepas ciumannya, lalu menempelkan dahinya pada dahiku. "Sayang kamu," bisiknya.
Aku hanya tersenyum mendengarnya tanpa balas bicara apapun. Dan selalu aku merasa diinginkan tiap kali bersamanya.
"Ayo aku antar pulang," ajaknya, lalu menggandeng tanganku.
Sesampainya di kost, setelah Irfan pulang, aku langsung menuju kamar mandi. Aku butuh menyegarkan diri. Selama mandi aku berpikir, betapa bodohnya aku karena mencampakkan Irfan yang tulus padaku hanya demi Baim yang sama sekali tidak memperdulikanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 RASA
RomanceIbrahim Hakam, pria yang harus rela menjadi duda bahkan di usianya yang belum genap memasuki kepala tiga, belum bisa melupakan mantan istrinya yang sudah menikah lagi dengan sahabatnya sendiri. Kini harus kembali berhadapan dengan perjodohan yang ti...