#Sybil#
Tak terhitung berapa kali napas terhela untuk mengurangi rasa gugup yang terasa. Akan tetapi tak memberi efek apapun. Semakin dekat tempat yang kutuju, semakin keras pula jantung ini berdetak. Seharusnya aku tak melakukan ini tetapi tak ada pilihan lain.
Sejak pulang dari Surabaya, Baim terkesan putus asa atas hubungan kami. Aku mengerti dia bingung harus bersikap seperti apa. Orang tuanya menginginkan pertemuan, tapi menuntut bertemu di Surabaya. Namun aku tidak mungkin pergi ke sana. Pilihan bertemu di Malang pun ditolak dengan alibi seharusnya yang muda mendatangi yang tua.
"Aku ngga tau lagi harus gimana, Bil. Kamu ngga bisa, Papa ngga mau ngalah. Apa aku harus nyerah sampai sini aja?"
Kata-kata Baim saat itu kembali terngiang, yang berhasil membuatku bertindak senekat sekarang. Hari ini, setelah menghadiri seminar tentang kebidanan yang memang diadakan di Surabaya, aku menyempatkan waktu pergi ke rumah Baim sebelum kembali ke Malang. Tak terbayang bagaimana reaksi Abi dan Umma kalau tahu apa yang kulakukan.
Saat taksi berhenti di depan rumah yang kutuju, seketika keberanian untuk turun terasa menciut. Apa ini keputusan yang benar? Aku masih bisa putar balik sekarang. Namun mana yang akan lebih kusesali nanti, memutuskan tetap turun atau pergi dari rumah ini tanpa masuk? Aku tidak tahu.
"Sudah sampai, Mbak." Perkataan supir taksi menghentikan perang batinku. Antara harus turun atau kembali saja.
"Iya, Pak." Kusodorkan uang sesuai tarif yang tertera pada mesin argo lalu keluar dari taksi.
Masih dengan perasaan gugup luar biasa, aku melangkah masuk melewati pagar silver rumah Baim. Terus berjalan menuju pintu utama rumah.
Kubaca basmallah dalam hati bersamaan dengan tangan terangkat untuk mengetuk pintu. Beberapa saat tak ada tanda-tanda orang yang akan membuka pintu hingga ketukan ketiga, barulah terdengar suara seseorang dari dalam rumah. Pintu terbuka, Baim berdiri di depanku sembari menggendong Kania. Sebuah senyuman lebar tersungging di bibirnya.
"Assalamualaikum," ucapku pelan, masih terus berusaha mengontrol rasa gugup yang makin menjadi.
"Waalaikumus salaam," jawab Baim, terlihat sumringah. "Coba tadi mau aku jemput," katanya yang memang menawarkan untuk menjemput tapi kutolak.
"Ngga apa-apa. Yang penting aku sampai kan," timpalku lalu beralih pada Kania. "Hai, cantik. Udah gede ya sekarang. Lupa ya sama Tante?" sapaku pada bayi berusia tujuh bulan itu yang hanya menatapku dengan mata bulatnya, lucu.
"Lupa kayaknya. Yang penting Om Baim ngga lupa sama Tante Sybil ya, Nia?" kata Baim.
Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Apaan sih, Im," balasku yang membuatnya terkekeh. "Kok sepi?"
"Ada kok di dalam. Ayo masuk," ajaknya karena kami masih tetap berdiri di depan pintu.
"Di sini ajalah, aku ngga enak," tolakku sehalus mungkin. Aku belum jadi apa-apanya jadi lebih baik duduk di ruang tamu saja kan?
"Ngga apa-apa. Ngga usah sungkan. Ayo," paksanya. "Deg-degan ya? Aku juga waktu ke rumah kamu gitu. Jadi sekarang gantian," tambahnya lalu terkekeh kecil.
Aku mengerucutkan bibir. Bukannya menenangkan, dia malah membuat semakin gugup. Tapi tak urung kuikuti juga langkah Baim masuk ke dalam rumah.
"Duduk, Bil. Tunggu bentar ya." Baim mempersilakanku duduk di ruang tengah rumahnya yang sepertinya juga merangkap ruang keluarga.
Aku mengangguk, Baim beranjak hendak meninggalkan ruang tengah. "Eh, Im. Kania sama aku aja, boleh?" pintaku.
"Iya, boleh," jawabnya sembari menyerahkan Kania ke gendonganku kemudian berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 RASA
RomanceIbrahim Hakam, pria yang harus rela menjadi duda bahkan di usianya yang belum genap memasuki kepala tiga, belum bisa melupakan mantan istrinya yang sudah menikah lagi dengan sahabatnya sendiri. Kini harus kembali berhadapan dengan perjodohan yang ti...