#Baim#
Aku duduk di kursi tunggu yang berada di teras rumah dimana aku berada sekarang. Kutumpukan kedua sikuku pada lutut dengan jari bertautan, sedikit menunduk, menunggu orang yang ingin kutemui sedang dipanggil. Aku mengulum senyum membayangkan dia protes karena kedatanganku kesini.
"Lho Mas Baim." Suara sapaan dari arah halaman rumah membuatku mendongak untuk melihat siapa yang menyapaku.
Aku tersenyum pada orang yang menyapaku tadi. "Apa kabar Bu Winda?" sapaku seraya berdiri untuk bersalaman.
"Baik, Alhamdulillah. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya yang mungkin heran melihatku di tempat prakteknya.
"Saya mau ketemu Sybil, Bu," jawabku.
Dia mengangguk-angguk. "Ooh.. Butuh pendamping lagi ya?"
Aku tidak langsung memberikan jawabannya, menimbang sebentar sebelum akhirnya aku mengangguk. "Iya, Bu."
"Oh, iya iya. Ada saudara yang melahirkan lagi?" tanyanya lagi.
Aku menahan diri agar tidak tersenyum lebar mendengar pertanyaannya itu. "Ngga, Bu. Kali ini buat saya."
"Lho, maksudnya?" Kerutan di kening Bu Winda mulai terlihat.
"Pendamping hidup," jawabku lalu aku tersenyum lebar.
"Oalah, Mas Baim ini bisa saja," ujarnya seraya terkekeh kecil.
"Sekalian saya mau bilang makasi sama Bu Winda karena dulu merekomendasikan Sybil," kataku. Bagaimanapun juga kalau dulu Bu Winda tidak merekomendasikan Sybil, aku tidak akan pernah mengenalnya. Yah, walau semua memang jalannya takdir. Tapi takdir itu terjadi melalui beliau, kan?
"Ini beneran tho? Mas Baim sama Sybil maksudnya mau menikah?" Bu Winda menatapku dengan ekspresi wajah tidak percaya, mungkin mengira aku bercanda.
Aku tertawa kecil. "Doain ya, Bu."
"Oalah. Selamat kalau memang benar. Sybil kok ndak cerita apa-apa ya," ujarnya dengan senyuman sumringah.
"Baim." Kali ini suara Sybil dengan nada terkejut yang menginterupsi obrolanku dengan Bu Winda.
Aku menoleh, tersenyum lebar padanya.
"Sybil, Sybil, ada berita bahagia itu kan dibagi-bagi gitu lho," tegur Bu Winda pada Sybil. Yang ditegur malah hanya tersenyum kikuk.
"Ya sudah monggo dilanjut, saya masuk dulu mumpung ndak ada pasien," pamit Bu Winda lalu beranjak masuk ke rumah.
"Kamu ngapain, Im? Ngomong apa sama Bu Winda?" protes Sybil seperti yang sudah kuduga.
Aku tertawa kecil. "Cuma bilang makasi sudah recommend kamu dulu," jawabku. "Nih." Kusodorkan bungkusan plastik kepadanya.
"Apa ini?" tanyanya sambil menerima bungkusan dariku.
"Buka aja."
Dia menurut, membuka bungkusan plastik itu lalu mengeluarkan sebuah kotak dari dalamnya. Dia membuka kotak itu. "Will you marry me?" Dia membaca toping yang tertulis di atas kue donat yang ada di dalam kotak itu.
"Ya ampun, Im. Kamu kayak ABG ya," katanya lalu tertawa geli.
Aku berdecak. "Ngga suka ya? Aku kira kamu bakal bilang 'so sweet banget, Im'. Malah ngatain aku kayak ABG," ujarku pura-pura kecewa. Kalau perempuan lain pasti akan senang karena menganggap apa yang kulakukan ini romantis tapi perempuan yang berdiri di depanku ini malah tertawa geli. Ya Tuhan...
KAMU SEDANG MEMBACA
3 RASA
RomanceIbrahim Hakam, pria yang harus rela menjadi duda bahkan di usianya yang belum genap memasuki kepala tiga, belum bisa melupakan mantan istrinya yang sudah menikah lagi dengan sahabatnya sendiri. Kini harus kembali berhadapan dengan perjodohan yang ti...