3 rasa - part 24

2.5K 243 14
                                    

#Sybil#

"Hei, birthday girl," kata Baim. Dia baru menyapaku begitu tapi senyumku sudah mengembang.

"All the best for you." Dia mengulurkan tangannya.

Aku tersenyum lebar, menyambut uluran tangannya. "Aamin. Thanks," balasku.

"Happy birthday, Bil," kata Fikri sambil mengulurkan tangan yang langsung kusambut.

"Makasi ya," kataku masih dengan senyum lebar.

"Ide Baim nih," timpal Fikri lagi sambil menyenggolkan bahunya ke bahu belakang Baim.

"Mau foto ngga, Mas?" tanya perempuan yang tadi menyanyi untukku.

"Boleh," jawab Baim lalu mengajakku mendekati badut-badut yang tidak jauh dari kami.

Sebenarnya aku ingin berdiri di sebelah Sofia, tapi dia sudah terlanjur berdiri di antara Fikri dan badut. Tidak mungkin aku menyuruh Fikri pindah tempat kan. Jadi tanpa pilihan aku berdiri di samping Baim. Setelah mengambil beberapa foto dengan ponsel Baim, kami meninggalkan gerombolan badut itu. Sofia dan Fikri sudah berjalan lebih dulu. Jadi aku berjalan bersama Baim.

"Makasi ya, Im. Kok kamu bisa tau ulang tahunku?" aku menoleh, melihatnya dari samping.

Dia tersenyum lalu merogoh kantong, mengeluarkan sesuatu. "Dari sini." Dia menyerahkan KTP-ku.

"Ya ampun, Im. Aku malah lupa kalo KTP-ku masih sama kamu. Jadi kamu udah nyiapin ini sejak awal?" tanyaku agak ragu. Takut terkesan kegeeran.

Dia tertawa kecil. "Baru kepikiran tadi waktu liat badut-badut itu," jawabnya yang membuatku merasa jengah. Dia pasti berpikir aku kegeeran sekarang.

"Tapi emang rencana mau ngasi kejutan. Tadinya mau ngerjain tapi takut kamu marah," lanjutnya yang membuat senyumku kembali mengembang. "Suka ngga?"

"Banget," jawabku mantap.

Dia tertawa lagi. "Ya udah ngga usah senyum-senyum terus," ejeknya.

Bukannya berhenti tersenyum, aku malah tertawa. "Ngga bisa banget liat orang seneng," gerutuku yang membuatnya terkekeh. Lalu kami sama-sama diam, terus berjalan beriringan.

"Im."

"Bil."

Aku dan Baim saling panggil di saat yang hampir bersamaan lalu kami tertawa karena kebetulan itu.

"Ladies first," kata Baim.

Aku tersenyum sekilas. "Hmm, besok aku terakhir kerja. Kamu udah tau?"

"Aku juga mau ngomongin soal itu. Apa ngga bisa kamu selesaikan sampai Minggu depan?" tanyanya. Dari nada bicaranya, bolehkah aku merasa kalau ada nada berharap?

Aku menggeleng pelan. "Maaf. Aku cuma ngga mau kehilangan kepercayaan orang tuaku."

Dia mengangguk pasrah. "Ya udah. Intan yang lebih berhak kamu mintai persetujuan."

"Udah kok. Dia udah setuju. Aku cuma ngga enak kalo ngga bilang langsung sama kamu," ujarku. Dia hanya tersenyum sekilas tanpa menimpali lagi.

Kami terus berjalan menuju tempat parkir yang ada di seberang. Bahkan Sofia dan Fikri sudah berada di seberang jalan. Aku dan Baim berdiri di tepi jalan, menunggu kendaraan agak sepi agar bisa menyeberang. Ketika aku berfokus pada kendaraan yang lewat, tiba-tiba kurasakan tanganku digenggam lalu sedikit diseret.

Aku tersentak dan menoleh ke arah Baim yang ada di sebelah kiriku. Dia sedang menggandengku menyeberang jalan.

"Kalo nunggu sepi, bisa-bisa besok baru nyeberang," katanya sambil terus menggandengku hingga kami berada di tepi seberang jalan. Tapi dia tidak juga melepas tanganku.

3 RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang