3 rasa - part 26

2.6K 251 5
                                    

#Nina#

Kuraih ponselku yang terletak di sebelah bantal. Aku menyerah, tenagaku sudah tak tersisa. Terakhir kali makanan bisa masuk ke perutku tadi malam, itu pun cuma secuil roti. Setelahnya tak ada makanan apapun yang berhasil kutelan.

Kuhubungi nomor Baim, tersambung tapi tak ada jawaban. Hingga tiga kali kucoba tetap tidak ada jawaban. Kenapa tiap kali aku butuh justru dia tidak ada. Tanpa bisa kutahan air mataku menetes. Aku merasa sendirian sekarang. Hingga aku teringat masih ada satu orang lagi yang bisa ku andalkan walau aku tidak tahu dia masih akan peduli padaku atau tidak.

Kuhubungi nomor telepon tempatku kerja, tersambung langsung dengan bagian restoran. Hanya dua kali nada sambung, panggilanku dijawab oleh bagian resepsionis.

"Aku Nina, Jen. Tolong sambungkan ke Irfan ya," pintaku pada Jeny anak resto yang sedang dapat shift sore ini.

Tak lama kudengar suara laki-laki yang sudah satu bulan ini kuhindari. Memang sejak Baim membicarakan soal pernikahan tiga bulan lalu, aku mulai menjauhi Irfan sedikit demi sedikit. Puncaknya satu bulan lalu aku benar-benar memutus segala kontak dengannya. Aku hanya tidak ingin menyakitinya lebih lagi. Dia terlalu baik untuk berakhir sakit hati karenaku. Walau secara tak langsung aku sudah menyakitinya selama ini.

"Halo." Terdengar suara Irfan di seberang sambungan. Aku malah tidak bisa bicara karena isakanku lolos lebih dulu dari mulutku.

"Halo, Nin. Kamu kenapa?" suara Irfan terdengar khawatir sekarang. Aku menahan tangisku sebisa mungkin agar bisa bicara normal.

"Aku sakit, Fan. Aku sakit," jawabku lalu kembali terisak.

"Aku ke kost kamu sekarang." Tanpa menunggu responku, Irfan langsung memutus panggilan kami. Lihat kan, siapa yang selalu ada untukku? Tapi siapa juga yang kusakiti? Aku memang jahat, bukan?

Hanya butuh waktu lima menit, pintu kamarku dibuka dari luar. Untung aku tidak mengunci pintu kamar, jadi Irfan bisa langsung masuk. Dia terlihat begitu panik melihat kondisiku yang hanya bisa berbaring lemas. Tangisku makin menjadi begitu dia datang.

"Ya ampun, Nin. Badan kamu panas banget," ujarnya terlihat sangat khawatir. "Kita ke rumah sakit sekarang." Dia langsung menggendongku, membawaku keluar dari kamar menuju mobil yang sudah terparkir di depan kost. Entah mobil siapa yang dia bawa, setahuku dia selalu membawa motor tiap kali berangkat kerja.

Aku bernapas lega ketika mobil yang kami kendarai berhenti di depan pintu rumah sakit. Irfan kembali menggendongku keluar dari mobil menuju ruang UGD, meminta pertolongan pada perawat yang ada disana. Setelah membaringkanku di salah satu tempat tidur yang ada di ruang UGD, Irfan berbicara pada perawat. Lalu perawat itu memeriksaku, menanyakan beberapa keluhan yang kurasakan. Selanjutnya selang infus sudah terpasang di tanganku, tanpa tahu aku sakit apa sebenarnya.

Yang pasti sejak kemarin aku sudah demam, tidak nafsu makan dan perutku sakit. Puncaknya tadi malam, aku terus muntah tiap kali mencoba untuk makan. Dan sialnya, tidak ada yang tahu dengan kondisi yang kualami. Aku memang tidak menghubungi Baim karena weekend kemarin dia pulang ke Surabaya dan bilang baru kembali ke Malang malam hari. Yang artinya tadi malam dia baru pulang entah jam berapa. Giliran kuhubungi tadi malah tidak ada jawaban.

Kubuka mataku, wajah pertama yang terlihat adalah wajah Irfan. Tidak seperti biasanya, dia menatapku tanpa senyuman sedikitpun. Tapi bisa kulihat jelas raut khawatir di wajahnya.

"Udah bangun?" tanyanya sambil menggenggam tanganku.

Memangnya aku tidur? Aku bahkan tidak merasa seperti tidur. Mungkin saking tingginya suhu badanku, jadi aku tidak bisa merasa tidur pulas.

3 RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang