3 rasa - part 23

2.5K 283 5
                                    

#Baim#

"Kak," panggil Intan yang lebih mirip teriakan daripada panggilan. Aku cepat-cepat memutar tubuhku membelakanginya, menutup resleting celanaku.

"Ya ampun, Tan. Ngga bisa ya ketuk pintu dulu? Kalo aku belum pake celana gimana?" protesku kesal. Intan ini kebiasaan kalau masuk kamarku selalu langsung nyelonong.

"Salah sendiri ngga dikunci," jawabnya enteng. "Kemana aja sih, ngilang aja ngga pamit."

"Mau apa?" tanyaku tanpa basa-basi. Sekarang sudah jam duabelas. Acara makan siang keluarga Johan sebentar lagi berlangsung.

Tadi malam begitu sampai dan seusai makan malam, aku dan Intan menyempatkan waktu mampir ke rumah orang tua Sofia sebentar. Setelah itu aku pergi ke rumah Johan bersama Fikri hingga malam. Ketika akan pulang si calon pengantin malah minta ikut, jadilah tadi malam kami bertiga tidur di paviliunku. Rumah Papa ini memang memiliki paviliun yang terpisah dari rumah induk, sejak dulu difungsikan sebagai kamarku. Jadi pulang malam pun aku tidak perlu membangunkan orang rumah. Tapi jaman SMA dulu tentu saja aku tidak akan bisa pulang kalau terlalu malam karena pagar sudah dikunci.

Pagi tadi, setelah shubuh, aku dan Fikri mengantar Johan pulang. Lalu berdua dengan Fikri langsung mencari sarapan. Pulangnya aku bersiap-siap dan langsung berangkat ke acara akad nikah Johan tanpa pamit pada Intan. Jadi sejak tadi malam, baru sekarang aku bertemu Intan lagi.

"Sybil, Kak," katanya sedikit merengek.

"Kenapa Sybil? Ngga bisa ikut? Kan aku bilang ajak aja dia juga." aku bicara tanpa melihat Intan, sibuk memasang kancing kemejaku.

Acara pernikahan Johan memang terbagi menjadi tiga sesi. Jam setengah sembilan tadi acara akad nikah hingga jam sebelas. Jam dua belas lanjut undangan makan siang khusus keluarga saja. Dan nanti sore jam tiga acara resepsinya. Dia memang tidak mau acara hingga malam, katanya butuh tenaga ekstra untuk menyambut malam pertama. Dasar bocah gemblung.

Untuk acara siang ini sebenarnya acara khusus keluarga. Tapi karena aku dan Fikri sudah seperti saudara Johan, jadi kami juga diundang. Aku sekeluarga dan Fikri sekeluarga. Karena Mama dan Papa tidak bisa datang jadi diwakilkan oleh Pak Lek dan Bu Lek Pur.

"Bukan itu, Kak. Dia sih ikut, malah udah siap. Masalahnya tuh Sybil bilang kalo besok, hari terakhir dia kerja," jelas Intan.

Aku mengernyit bingung. "Bukannya masih Minggu depan?"

Intan mengangguk mantap. "Iya harusnya masih ada waktu seminggu lagi. Tapi karena kejadian dia tidur nyandar sama Kak Baim kemarin dan kepergok sodaranya, jadi dia cerita ke orang tuanya sebelum sodaranya itu cerita. Dia malah disuruh berhenti sama mamanya."

Aku menghela napas panjang. Kenapa harus dibesar-besarkan, padahal Sybil juga tidak sengaja. Tahu begini pasti kubangunkan dia sampai benar-benar bangun.

"Ya udah diomongin nanti lah," putusku. "Nih, tolong panasin mesin mobilnya." Aku menyodorkan kunci mobil pada Intan.

Intan keluar, aku melanjutkan siap-siap, memakai kaus kaki dan sepatu lalu keluar menyusul Intan. Di luar sudah ada Pak Lek dan Bu Lek Pur yang menggendong Kania. Hanya Sybil yang belum terlihat.

"Oalah, ganteng tenan tho le," kata Bu Lek.

Aku hanya nyengir lebar mendengar ucapannya. "Sudah siap semua? Sybil mana?" tanyaku.

"Masih ambil kado," jawab Bu Lek sebelum masuk mobil, diikuti Pak Lek. Sedang Intan sudah di dalam mobil.

"Wih, keren ya hasil modifikasi mas Johan," kata Intan mengomentari mobilku yang memang bukan hanya diperbaiki oleh Johan tapi juga dimodif di beberapa bagian.

3 RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang