BANGUNAN yang bagus, pujiku. Hampir sepuluh menit sudah aku menatap kagum bangunan di depanku. Seolah tersihir hingga sulit untuk mengalihkan pandangan. Aku menyukai suasana di sini. Nyaman.
Kulirik jam yang melingkari pergelangan tanganku. Aku menarik napas pelan, sudah waktunya menunjukkan bakat akting terpendamku.
Aku memutuskan berhenti mengagumi bangunan ini lebih lanjut. Tapi, anak-anak yang bermain tanpa merasa lelah itu kembali menarik perhatian. Memoriku seolah mengingatkan salah satu proses yang pernah kulalui hingga menjelma diriku saat ini. Ah, sudah lama sekali aku tidak bermain seperti mereka.
Mengingat tujuan awal, dengan terpaksa aku melanjutkan langkah. Memang bukan waktu yang tepat untuk bernostalgia.
Aku menyusuri koridor untuk mencari ruangan yang jadi tujuanku. Oh, rupanya ruangan itu ada di ujung sana, terpisah dengan bangunan lainnya.
"Masuk!" Suara berat itu terdengar memerintah saat aku mengetuk pintu, membuat merinding saja.
Suara berat itu membuatku teringat sosok-sosok dingin namun tegas yang pernah kutemui. Aku jadi teringat kepala sekolahku saat SMP yang sikap tegasnya sangat membekas di hati dan ingatan. Mendadak nyaliku menciut dan meragukan kemampuanku bermain peran. Aku masuk sambil mengamati ruangan untuk mengurangi rasa gugup. Lumayan.
"Silakan duduk, Bu ... Hanisa."
"Ah, ya. Terima kasih, Pak." Aku tersadar. Seorang pria berkacamata menegur dengan tatapan datar. Pria di depanku nampak sangat serius dan berwibawa. Aku hanya bisa tersenyum ragu, menarik napas pelan untuk menenangkan debaran jantung.
Kuperhatikan lagi si pria berkacamata itu, ia terlihat masih muda. Secara keseluruhan menarik hanya sorot tajam mata di balik kacamata itu yang tidak kusukai. Terlalu dingin dan mengintimidasi.
Ganteng juga nih kepsek, pikirku konyol. Tapi pasti udah kawin.
Mataku bergerak cepat untuk menyensor seluruh tubuh si kepsek hingga jari-jari tangannya untuk mencari bukti otentik jika dia sudah menikah. Aku memang selalu men-screening setiap laki-laki yang menurutku masuk kategori cakep dan tentunya single.
"Oh ... maaf. Saya terlambat. Macet sekali perjalanan kemari." Sebuah suara membuyarkan penilaianku pada si kepsek.
"Tidak masalah, Pak Aji. Kami belum mulai. Silakan duduk." Suara berat si kepsek terdengar sangat mendominasi.
"Terima kasih, Pak."
Refleks aku menoleh saat mendengar suara berat pria yang kini duduk di sebelahku.
Nah, ini suara cowok yang baru masuk juga seksi gila, bikin gerah. Apalagi parfumnya. Huh, bikin gue mandadak butuh napas buatan.
"Baiklah. Kita langsung mulai saja. Saya yakin Bapak dan Ibu tahu maksud surat panggilan yang sudah saya berikan. Jadi, saya ingin membahas sekaligus mendiskusikan permasalahan pada putra Bapak dan Ibu."
Si kepsek lalu mengarahkan pandangan padaku sekilas sebelum mengalihkan perhatian pada laki-laki di sebelahku. Mataku yang mendadak jeli bisa menangkap senyum tipis si kepsek sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Begini, Leo dan Martin berkelahi lagi setelah makan siang kemarin, dan perkelahian itu sudah yang ketiga kalinya dalam sebulan ini...." Aku tidak terlalu mendengarkan kalimat selanjutnya dari si kepsek di depanku. Karena fokusku sudah terpecah.
Aku melirik diam-diam laki-laki dengan aroma yang menggoda di sebelahku ini, dia terlihat serius mendengarkan kata-kata si kepsek. Di mataku, laki-laki ini jadi begitu menarik hanya dengan kemeja dan dasi yang dipakainya. Semua yang melekat di tubuhnya seakan mengundangku untuk menyentuh dan meninggalkan jejak panas di seluruh bagian tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah?
RomanceApakah melepaskan semudah saat kamu memutuskan untuk menjatuhkan hati? Mencintai seseorang yang tidak pernah menganggapmu ada pasti menyakitkan, bukan? Diara menyelami rasanya, bukan, dia bahkan telah tenggelam karena mencintai laki-laki yang hanya...