SUDAH dua hari aku pulang dari rumah sakit. Tapi masih harus belum bisa bekerja karena Dikan selalu cerewet setiap melihatku lelah sedikit saja. Kadang aku merasa dia terlalu berlebihan dan lebay.
Aku sedang menyeduh cokelat panas saat Dikan masuk ke dapur, mengecup pipiku sekilas sebelum duduk di kursinya dan meminum susu yang sudah kubuatkan untuknya.
"Ra, ponselmu berbunyi terus sejak tadi malam. Kamu tidak ingin mengangkatnya?"
Aku hanya diam, Dikan tahu persis siapa yang menelponku. Sepertinya dia ingin menguji kesabaranku sepagi ini. Padahal aku sengaja menghindari topik ini sampai emosiku stabil dulu.
"Sayang, kamu nggak kasian sama Martin. Dia tidak tahu apa-apa dalam masalah ini. Kasihan dia." Dikan mendekatiku yang masih berpura-pura mengaduk cokelat panasku.
Dikan mengusap pundakku dengan menatapku begitu lembut. "Sayang, Martin pasti...,"
"Jangan pancing emosiku, Dikan!" suaraku langsung meninggi. Aku melampiaskan amarahku dengan melempar sendok di tanganku ke sudut dapur hingga terdengar bunyi keras. Aku menjauh dan berlalu dari hadapannya.
Aku melupakan cokelat panas dan sarapanku. Selera makanku sudah terlanjur hilang.
~~~
Aku memejamkan mata sejenak, mencoba menghilangkan rasa kesalku dan fokus membaca laporan Alin. Alin harus lebih sibuk karena aku tidak bisa bekerja dan memantau cafe sejak masuk rumah sakit. Apalagi beberapa hari lagi puasa pekerjaannya makin bertambah karena juga harus mempersiapakan cafe yang sudah dua tahun ini selalu ramai untuk tempat ngabuburit.
"Sayang..." Aku tidak menanggapi teguran Dikan, dia sudah lima menit ikut duduk di sofa bersamaku.
Aku tahu dia terus menatapku. Aku sengaja menghindarinya supaya tidak sampai kelepasan emosi seperti tadi karena setelah lebih tenang dan mencerna apa yang terjadi aku jadi merasa bersalah sekaligus malu karena sudah berani berbicara kasar dan tidak sopan padanya.
"Sayang, maaf tadi aku sudah bikin kamu kesal." Dikan makin mendekat.
Aku tetap diam dan menghindari kontak mata dengannya. Hatiku menghangat saat merasakan genggaman tangannya. Aku yang salah tapi dia yang minta maaf. Aku merasa sangat beruntung karena dia selalu menjagaku walau terkadang terkesan berlebihan dan konyol.
Aku sudah tidak bisa lagi menghindari matanya saat tangannya menyentuh pipiku dan menghadapkan wajahku padanya.
"Maaf...,"
"Jangan minta maaf, kamu tidak salah," jawabku cepat memotong ucapannya karena aku merasa tidak nyaman dengan tangannya yang sudah merayap turun ke leherku.
Aku menjauh dari jangkauan tangannya. Dikan malah makin mendekat dengan menahan senyum. Aku tidak suka senyumnya, otaknya pasti sedang menyusun rencana untuk bisa menyentuhku dengan modus-modusnya.
"Ra, kamu tidak ingin makan sesuatu? Kamu belum ada makan apapun dari tadi pagi," katanya makin mendekatiku.
Aku menggeleng cepat. Alarm bahaya sudah makin keras berbunyi di kepalaku karena senyumnya yang makin lebar.
"Atau merasa pusing dan perut yang tidak enak, mungkin?" Dikan bertanya sambil terus mendekat sampai aku sudah terpojok ke sudut sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah?
RomanceApakah melepaskan semudah saat kamu memutuskan untuk menjatuhkan hati? Mencintai seseorang yang tidak pernah menganggapmu ada pasti menyakitkan, bukan? Diara menyelami rasanya, bukan, dia bahkan telah tenggelam karena mencintai laki-laki yang hanya...