AKU hanya bisa menatap semua foto di depanku sambil menghela napas pelan.
Seandainya tidak membaca kata-kata yang tertulis di bawah foto itu mungkin aku tidak akan sadar kalau hampir semua foto dari fase hidupku sendirilah yang kulihat.
Kenapa aku bisa lupa padanya?
Aku mencoba mengingat siapa Dikan di saat kuliah. Kalau tidak salah panggilannya Kak Ghana. Aku tidak banyak tahu tentang dirinya. Aku bisa ingat karena kebetulan dia jadi assisten dosen mata kuliah yang dosennya killer.
Aku tidak pernah memerhatikan bagaimana dia di kampus dulu walau teman-temanku–terutama yang perempuan–sering membicarakannya. Seingatku dia memang terkenal tampan karena wajah indonya. Dia juga pintar apalagi dia juga ketua senat.
Aku hanya mengenalnya sebatas itu karena wajah dan namanya akan hilang begitu saja saat aku terseret pada khayalan pada sosok Bang Rian. Tidak pernah terpikir kalau kami sering berada di banyak tempat yang sama seperti foto di depanku ini.
Selama ini aku sudah membuang waktu dan kesempatan dari "Barang Bagus" seperti Dikan, pantas saja aku mudah tertarik padanya saat pertama kali bertemu di sekolah Martin.
"Ra... Sayang..." tegurannya membuatku menoleh.
Dikan, dia masuk ke kamar dengan memakai kacamata. Kacamata yang hampir sama persis dengan yang dipakainya saat di foto wisudaku. Bahkan aku tidak ingat pernah foto dengannya saat wisuda, karena yah... saat itu aku sedang memikirkan Bang Rian yang lebih memilih liburan ke Thailand dan bertemu lady boy dibanding datang ke acara wisudaku.
Melihatnya dengan kacamata membuatku seperti orang yang baru pertama kali bertemu dengannya. Aku hanya bisa menatapnya dengan tampang bodohku. Suamiku ini benar-benar telah membuatku terpesona entah untuk yang keberapa kalinya.
Aku tidak menyangka dia akan terlihat berbeda saat memakai dan melepas kacamatanya. Pantas saja aku sulit mengingatnya.
Tapi suamiku ini tetap selalu menarik di mataku, apalagi saat melihatnya sekarang memakai kacamatanya. Aku bagai tersedot auranya yang terkesan pintar, angkuh, dingin, tegas dan juga misterius.
"Sayang, kok bengong?" Aku mengerjap saat merasakan tepukan halus di pipiku.
"Hah, kenapa?" Aku bertanya dengan bingung saat wajah Dikan sudah begitu dekat denganku.
Aku tidak bisa fokus melihat senyumnya dan hanya bisa mengedip-ngedipkan mata saat mataku bertemu dengan matanya yang baru aku sadari berwarna caramel.
"Kamu makin lucu kalau gini," katanya berbisik di telingaku.
Aku tersadar dari kebodohanku. Otakku langsung membawa pada kenyataan saat dia mencubit pipiku begitu gemas.
"Aduhhh sakit..." Aku mengaduh tapi Dikan malah makin keras menarik pipiku.
Dia menahan tawa melihat aku yang salah tingkah apalagi dengan warna pipi yang mungkin sudah semerah warna tomat atau cabe busuk.
"Kenapa? Kamu ingat sesuatu?" Dikan bertanya sambil tetap tersenyum.
Aku hanya bisa mengangguk, lalu menggeleng. Aku tidak tahu harus mengatakan apa saat ini.
"Kamu makin keren dengan kacamata ini," kataku tanpa sadar.
Perlahan aku mendekat padanya, menuruti keinginanku untuk melihat wajahnya lebih dekat perlahan tanganku terulur ke pipinya. Aku menatap matanya tanpa berkedip.
Kenapa laki gue bisa seganteng ini sih?
"Ahhhh... kenapa sih kamu makin hari makin bisa bikin aku kelonjotan gini?" Aku bergumam seolah untuk diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah?
RomanceApakah melepaskan semudah saat kamu memutuskan untuk menjatuhkan hati? Mencintai seseorang yang tidak pernah menganggapmu ada pasti menyakitkan, bukan? Diara menyelami rasanya, bukan, dia bahkan telah tenggelam karena mencintai laki-laki yang hanya...