24

16.5K 901 132
                                    

AKU terdiam. Tidak tahu dan tidak ada yang bisa kukatakan.

Bagaimana mungkin? Tidak pernah terlintas dalam pikiranku kalau penolakan mereka pada lamaran Bang Rian adalah karena status kami. Bukankah bang Rian anak dari almarhum om Hardi dan tante Mutia? Lalu bagaimana bisa kami saudara kandung? Apa aku juga anak angkat keluarga Hendrawan? Kenapa mereka menyembunyikan semua fakta ini?

Pikiranku penuh dengan segala kemungkinan paling mendekati mengenai statusku dan bang Rian. Ya, yang paling mungkin adalah aku dan bang Rian sama-sama anak angkat.

Kepalaku berdenyut nyeri, keringat sudah membasahi pelipis. Mendadak semua gejala yang sudah tidak pernah muncul lagi kini kembali menyerangku. Aku berusaha bertahan untuk mendengar semuanya, tidak ingin menunda lagi.

Aku menghela napas yang terasa berat. Merasakan genggaman erat di tanganku, aku menoleh dan mencoba membalas genggaman tangan Dikan untuk menegaskan kalau aku baik-baik saja.

Tapi tidak lama yang aku rasakan adalah tubuhku kehilangan tenaga. Suara papa makin lama makin tidak terdengar saat aku hanya bisa melihat bayangan hitam yang berputar-putar.

~~~

Ternyata aku tidak sekuat itu. Belum selesai mendengar penjelasan Papa, aku sudah terbaring dengan mengenaskan seperti ini.

Hari yang aku tunggu untuk mengetahui mengenai kebenaran masa lalu keluargaku terlewat begitu saja. Aku benci diriku yang terlalu lemah dan rapuh.

Melihat Dikan masuk ke kamar, aku berusaha untuk duduk. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Dia duduk di atas tempat tidur setelah meletakkan nampan yang dibawanya. Aku berusaha tersenyum walau otot sekitar wajah dan bibir seolah kaku.

"Maaf, kamu aku bawa pulang. Kamu pasti juga tidak nyaman di sana terlalu lama, kan?" katanya lembut berusaha membalas senyumku.

Aku mengangguk. Dikan mendekat dan mengusap pipiku tanpa menyinggung mengenai perasaanku. Dikan tidak pernah mendesakku untuk bercerita, inilah yang membuatku nyaman di dekatnya. Aku tidak menolak saat ia membawaku ke dalam rengkuhannya. Aku memejamkan mata, menikmati rasa nyaman dari pelukannya. Pelukan Dikan adalah tempat paling tepat untuk melepaskan segala perasaanku karena dia bisa menghadirkan rasa nyaman itu bahkan hanya dari pelukan.

Aku melepaskan diri dari pelukannya saat merasakan gerakan selain memelukku. Aku berusaha tidak terpancing dengan godaannya. Kadang Dikan jadi tidak peka karena saat suasana hati yang tidak menentu masih sempat dia menggodaku.

Saat berusaha menghindari Dikan dengan tingkah anehnya mataku terarah pada sebuah amplop di atas nakas. Melihat aku terdiam, Dikan menghentikan kegilaanya.

"Kamu yakin, Sayang?" Dikan bertanya dengan ekspresi seriusnya seolah mengerti keinginanku.

"Boleh, ya? Aku janji bakal berhenti kalau sudah nggak sanggup lagi bacanya," pintaku.

Dikan terlihat berpikir. Pasti dia juga tahu kalau aku sudah sangat ingin tahu kebenaran dari semua rahasia dalam keluargaku. Dicegah seperti apa pun pasti aku akan mencari cara untuk mengetahuinya.

Dikan menghela napas, terlihat tidak setuju dengan permintaanku. "Oke, tapi setelah kamu makan," katanya tegas.

Senyumku mendadak hilang. Aku tidak butuh makan karena yang aku butuhkan sekarang adalah mendapatkan penjelasan dari semua pertanyaanku.

"Aku tidak lapar, Dikan. Boleh, ya?" Aku meminta dengan wajah memelas.

"Tidak makan maka tidak boleh baca ini!" Suara Dikan terdengar begitu tegas, tangannya sudah mengambil amplop itu.

Kita Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang