AKU menahan gerak sudut bibirku untuk membingkai seulas senyum saat membuka mata. Begitu nyaman dan nyenyak tidurku tadi malam sampai rasanya tidak bermimpi apa pun. Aku mengusap wajah pelan saat bayangan kejadian tadi malam menari-nari tanpa malu, menggoda dan sialnya berhasil memaksa bibirku menarik segaris senyum.
Rasa senangku terganggu karena suara bel yang terus berbunyi. Selalu saja begini. Penggangu akan datang di hari aku masih ingin menikmati saat-saat bersantai dan bergelung di bawah selimut.
"Ngapain sih Mbak pagi-pagi kesini?" tanyaku ketus pada tamu yang hanya tersenyum jail.
Aku heran dengan kedatangan mendadaknya, tidak biasanya dia datang sepagi ini.
"Sekarang weekend dan baru jam tujuh, masih sangat pagi untuk anak gadis seperti Ara bangun, Mbak," tambahku.
Aku tidak suka pada tamuku yang langsung saja menuju dapur dan membuka kulkas. Mengambil air dingin dan meminumnya sekali tandas seolah tidak minum selama bertahun-tahun.
"Sengaja. Habis dari jogging Mbak langsung mau lihat bagaimana kelakuan si Adik Kecil yang sebentar lagi kawin ini kalau pagi-pagi." Aku tidak memperdulikan ucapan mbak Nisa yang jelas-jelas menyindirku yang masih bermalas-malasan di atas kasur.
"Kok Mbak datangnya sendiri, kenapa nggak ngajak Martin?" tanyaku penasaran, tidak biasanya dia tidak membawa Martin saat berkunjung ke tempatku.
Aku sudah rindu pada Martin, padahal baru dua hari aku tidak bertemu dengannya. Mbak Nisa hanya tersenyum melihat penampilanku yang baru bangun tidur. Senyumnya terlihat sangat berbahaya hari ini.
Malas melayani kelakuan mbak Nisa aku memilih kembali ke tempat tidur dan menyusup ke dalam hangatnya pelukan selimut. Ah, enaknya.
"Martin hari ini ada acara piknik dari sekolahnya, sekalian perayaan untuk perkumpulan para wali murid makanya dia nggak Mbak ajak." Aku mendengar suara mbak Nisa yang berteriak.
Tidak lama dia masuk ke kamar dengan membawa piring red velvet yang kubuat di cafe bersama Kim, chef pengganti Rudi yang ternyata juga jago membuat kue. Aku puas dengan kinerja Kim walau tetap belum bisa seperti Rudi.
"Kok Mbak nggak ikutan acara pikniknya?" tanyaku dengan menahan kesal karena Mbak Nisa manghabiskan red velvet itu sambil memeriksa seluruh kamarku.
"Ngapain, itu acara khusus untuk hot Papa aja. Acara hot Mama bulan depan," jelas Mbak Nisa sambil membuka kamar mandiku.
Hm, menarik. Sepertinya hari ini aku akan bebas dari Alghan. Dia pasti ikut acara para orangtua di sekolah anaknya, kan Leo dan Martin satu kelas.
Yes!
Tanpa sadar aku tersenyum membayangkan keberuntungan yang lagi-lagi menghampiriku. Selama seminggu ini aku sudah menahan diri untuk shopping ke mall, karena kalau Alghan ada aku akan repot sendiri saat melihat pelototan cewek-cewek padanya.
Bukan, bukan aku tidak suka dia dikerubuti oleh cewek-cewek ganjen itu hanya saja kesempatanku untuk sekedar tebar pesona atau mencari pemandangan indah juga selalu kacau karena dia akan terang-terangan mengusir mereka yang mendekatiku. Jangankan mendekat, mereka yang berani menatapku saja akan segera menjauh saat Alghan menatap mereka tajam. Ck, tindakannya itu membuatku pusing.
Belum lagi aku yang sekarang sudah tidak punya privacy apa pun lagi. Bahkan aku harus memberitahu password apartementku padanya. Meletakkan nomor ponselnya di angka 1 dari panggilan darurat ponselku. Katanya itu perintah Dikan karena kalau ada apa-apa aku bisa langsung terhubung padanya. Untuk hal itu aku tidak masalah karena aku sudah membuktikan hal itu berguna terutama saat kejadian mati lampu tadi malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah?
RomanceApakah melepaskan semudah saat kamu memutuskan untuk menjatuhkan hati? Mencintai seseorang yang tidak pernah menganggapmu ada pasti menyakitkan, bukan? Diara menyelami rasanya, bukan, dia bahkan telah tenggelam karena mencintai laki-laki yang hanya...