"Widih, si Bos baru datang. Ke mana aje? Tumben datangnya sorean?" tegur Lila–karyawanku yang bertugas di kasir–saat aku masuk ke dalam kafe. Aku tersenyum padanya.
Lila ini adalah salah satu karyawanku yang paling ramah, apalagi senyumnya itu manis sekali. Dia juga mudah akrab dengan orang yang yang baru dikenalnya.
"Ada kerjaan dikit tadi. Napa lo, kangen sama gue?" Aku menjawab pertanyaannya dengan bercanda. Di sini memang interaksi kami santai.
"Tau aja si Bos. Kan, hari ini tanggal gajian," jawab Lila pelan. Matanya mengedip seolah memberi kode padaku.
Aku bisa mengerti sikap Lila ini. Tentu saja Lila sangat mengharapkan gaji setiap bulannya karena selain harus membantu keluarga, dia juga harus membayar keperluan kuliahnya. Lila ini hanya punya ibu–ayahnya meninggal lima tahun yang lalu–dengan tanggungan dua orang adiknya yang masih kecil-kecil. Karena Lila masih kuliah, aku juga memberi kelonggaran untuk lebih mengutamakan kuliahnya dibanding pekerjaan yang masih bisa digantikan oleh karyawan yang lain.
"Rame hari ini, La?" tanyaku sambil menyensor ke seluruh bagian kafe. Hanya tiga meja yang kosong.
"Lumayan, Bos." Lila menjawab dengan semangat.
"Oke. Gue naik dulu. Kerja yang bener lo," pesanku. Aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan saat ada pelanggan yang mendekati meja kasir.
Aku berjalan menaiki lantai tiga menuju kamarku. Badanku butuh bertemu air sekarang, rasanya lengket dan gerah. Yang aku lakukan di sekolah Martin tadi memang terlalu berani. Jika bukan karena Martin, mustahil aku berani berbohong seperti tadi. Kebetulannya, kepala sekolah Martin yang sekarang baru dua bulan bertugas dan belum pernah bertemu dengan Mbak Nisa. Jadi aku bisa sedikit tenang. Semoga saja kebohonganku tadi tidak ketahuan.
"Martin, Martin. Kecil-kecil sudah berani main tonjok-tonjokkan." Aku bergumam sendiri mengingat kelakuan keponakanku itu.
Ya, Martin menelepon pagi-pagi. Keponakanku itu memintaku menghadap kepala sekolahnya dan berpura-pura menjadi sang bunda. Kalau Mbak Nisa tahu dia berkelahi, habislah keponakanku itu.
Sebenarnya aku heran karena tidak biasanya Martin berkelahi. Martin biasanya cuek dan pandai mengendalikan emosi walau diejek atau diganggu teman-temannya. Kalau dia sampai meladeni kejailan itu, bisa dipastikan karena lawan berkelahinya yang sudah kelewatan.
"Ck, kecil-kecil sudah pinter ngadalin orang tua, kalau besar bisa jadi buaya tuh bocah." Aku menggeleng sendiri mengingat ulah ajaib Martin.
~~~
Selesai mandi, aku memeriksa notifikasi ponselku. Ada pesan dari Mbak Nisa yang memintaku datang ke rumahnya. Memang sudah seminggu ini aku belum sempat ke sana.
Aku memang diizinkan untuk tinggal terpisah dari orangtua, tapi tetap dalam pengawasan Bang Wira dan juga Mbak Nisa. Mereka berdua itu sangat mengekangku. Untungnya belum pernah sekali pun mereka memergokiku sedang berulah.
Rasa lapar membuatku mengurungkan niat untuk masuk ke ruang kerjaku. Pekerjaanku juga tidak terlalu banyak hari ini. Sedikit bersantai rasanya tidak masalah.
"Hai, guys. Dapurnya gue pinjam bentaran yak. Orderan belum rame, kan?" Aku menghampiri dua orang karyawanku di bagian dapur.
Tadinya aku memang berniat masak di dapur atas–dapur khusus aku biasa memasak–peralatan masak di dapur itu juga lengkap. Tapi aku sedang jenuh masak sendirian, kalau masak di sini aku bisa sekalian menilai kinerja karyawanku secara langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah?
RomanceApakah melepaskan semudah saat kamu memutuskan untuk menjatuhkan hati? Mencintai seseorang yang tidak pernah menganggapmu ada pasti menyakitkan, bukan? Diara menyelami rasanya, bukan, dia bahkan telah tenggelam karena mencintai laki-laki yang hanya...