Harap bijak dalam membaca👌
____________________________
AKU menatap lekat wajah Dikan yang terlelap begitu damai di sebelahku. Sejak sumpah sebagai bentuk luapan emosi itu, aku memang tidak pernah lagi tertarik untuk memerhatikan wajah atau apa pun yang ada pada dirinya.Selama ini aku terlalu sibuk dengan rasa kecewa. Saat hati sedikit terbuka, Dikan kembali menjadi laki-laki yang memenuhi semua kriteria suami idamanku.
Sekarang aku bisa mengerti mengapa wajah bulenya begitu dominan. Papa Ben adalah pria keturunan Inggris yang menikahi Mama Hera yang memang sangat cantik.
Suamiku ini, Alghan Dikantara Hardy Pratama putra dari Benedict Hardy dengan Al Hera Dwi Pratama. Laki-laki sempurna yang sudah menjadikanku istrinya dengan cara tidak biasa.
Tanganku terulur menyentuh pipinya lalu perlahan mengusap rahangnya yang menjadi bagian favoritku selain dadanya.
Mama Hera dengan segala kecerewetannya berhasil memaksa kami menginap malam ini. Aku canggung saat harus kembali satu ranjang dengan Dikan.
Kata-kata Mama Hera setelah makan malam tadi begitu menohokku. Aku merasa berdosa dan sudah menyakiti hati Dikan sebagai suamiku karena menolak sentuhannya.
Tidak mudah untuk menerima Dikan. Hati yang masih diliputi rasa kecewa karena kebohongannya. Apalagi dia juga masih menjalin hubungan dengan pasangan sejenisnya. Aku tidak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan Dikan dan pasangannya.
Tanganku turun mengelus dadanya. Sejak menikah, aku tidak lagi risi dengan kebiasannya yang tidak bisa tidur dengan memakai baju untuk menutupi tubuh atasnya. Jika boleh jujur, keseluruhan tubuhnya begitu menarik–aku sudah mengakuinya sejak pertemuan pertamaku dengannya. Untungnya Dikan hanya memamerkan tubuhnya di depanku. Jika di depan umum, dia akan terlihat kaku dan angkuh, sangat berbeda dengan sikapnya yang selalu mencari kesempatan untuk menyentuhku.
Gerakan tanganku yang sedang mengelus dadanya terhenti saat mendengarnya mengerang. Dikan seperti meringis kesakitan dalam tidurnya.
Dikan mengigau.
"Oh, Ara. Iya, Sayang... ahhh...!" Aku bingung mendengarnya mendesah sambil memanggil-manggil namaku.
"Ra, ohhh... huhhh...." Suara Dikan makin berat dan terputus-putus. Seperti sangat tersiksa.
"Hey, kamu kenapa? Jangan membuatku takut." Refleks aku bangun dan duduk di sebelahnya.
Pipinya kutepuk pelan, tapi bukannya bangun dia malah makin mengerang. Tangannya menjalar kemana-mana lalu memeluk pinggangku.
Mimpi apa suamiku ini sampai menyebut namaku beberapa kali? Apa dia mimpi buruk makanya berkeringat seperti ini?
Melihatnya begitu tersiksa tanganku terjulur menyeka keringatnya mulai dari pelipis lalu ke lehernya. Aku tidak peduli dengan pelukannya di pinggangku yang makin erat. Napasnya yang hangat mengenai perutku.
"Ohhh... ini nikmat, Ra. Lidahmu bisa membunuhku." Aku kaget saat Dikan yang makin gelisah dan malah mencium perutku.
Astaga. Apa yang dilakukannya? Aku jadi malu sendiri mendengar kalimatnya yang disertai desahan. Aku kembali membangunkannya, tapi tidak ada reaksi apa pun. Tangannya malah merayap ke arah dadaku. Ya ampun. Saat tidur saja tangannya bisa seagresif ini.
Aku mengguncang tubuhnya sambil memanggil namanya dengan suara lebih keras tepat di telinganya. Tidak mungkin membiarkannya terus mendesah dan menggerayangi tubuhku. Aku takut suara desahannya didengar anggota keluarga yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah?
RomanceApakah melepaskan semudah saat kamu memutuskan untuk menjatuhkan hati? Mencintai seseorang yang tidak pernah menganggapmu ada pasti menyakitkan, bukan? Diara menyelami rasanya, bukan, dia bahkan telah tenggelam karena mencintai laki-laki yang hanya...