KEBINGUNGAN menyergapku saat baru saja membuka mata dan menyesuaikan jumlah cahaya yang mengisi bagian sensitif itu. Kepala berdenyut, rasa pening dan kaku leher menambah perasaan tidak nyaman seolah menjarah pikiranku.
Mama yang berdiri di dekatku menyusut berkali-kali sudut matanya, terlihat berusaha menahan isak tangis. Mbak Nisa yang biasa heboh itu juga menangis dalam pelukan bang Wira makin membuatku bingung.
Mataku kembali memandang berkeliling. Keningku berkerut saat bertemu dengan manik cokelat Nata yang sendu, seolah ingin menjabarkan rasa bersalah karena beberapa kali mencoba mempengaruhi bahkan menekanku untuk membatalkan pernikahan yang seharusnya terjadi hari ini.
Aku tidak bisa mengerti makna wajah sedih mereka. Aku menunggu mereka bicara, menjelaskan apa yang terjadi. Bang Wira seperti mengerti gerakanku yang akan mengambil air minum saat merasakan tenggorokanku kering, seolah terbakar.
"Kamu kenapa nekat sih, Dek? Kami dibikin panik." Aku bingung mendengar pertanyaan bang Wira.
Apa maksudnya? Aku tidak merasa melakukan hal aneh kemarin malam. Aku ingat, aku sudah akan tidur dengan tangan yang sudah memakai hena yang dilukis oleh make-up artis yang memang akan merias untuk acara akad. Lalu saat bangun mereka semua terlihat panik. Apa yang terjadi?
Bagaimana dengan acara pernikahanku? Bukankah harusnya dilaksanakan hari ini? Apa mempelainya sudah datang dan bagaimana akad nikahnya? Apa sekarang aku sudah berstatus seorang istri?
Segala pertanyaan itu berseliweran, membombardir dan menyedot kekuatanku. Aku lelah.
Aku terus memperhatikan wajah khawatir mereka. Sampai aku sadar, tidak ada bang Rian yang menjadi alasanku menerima takdir yang kupilih sendiri.
Apa Bang Rian tidak mau melihat adiknya menikah? Mungkinkah dia masih marah padaku?
Aku meringis karena merasakan nyeri saat menggerakkan tangan kiriku. Aku diinfus? Separah apa kondisiku sampai harus dirawat seperti ini?
"Ara kenapa, Mbak? Kok diinfus?" tanyaku dengan suara pelan karena masih pusing saat mbak Nisa mendekatiku saat hampir saja jarum infus itu terlepas.
"Ara tidak sadar setelah overdosis obat tidur," jelas mbak Nisa.
Bagaimana mungkin? Aku memang gelisah dan gugup menjelang pernikahan, tapi aku masih bisa tidur kalau malam. Kapan dan untuk apa aku minum obat tidur?
"Apa Ara minum obat itu karena tidak menginginkan pernikahan ini?" tanya mama dengan suara lirih. Matanya yang sembap dan berkaca-kaca membuat dadaku sakit.
Apa yang sudah kulakukan sampai mama menangis seperti ini?
"Ara tidak minum obat tidur. Ara bisa menerima pernikahan ini walau awalnya terpaksa. Pernikahan bukan alasan untuk Ara mengakhiri hidup. Bunuh diri terlalu konyol, Ma," jawabku dengan menekan dalam-dalam rasa sakit saat mama kembali menyusut air matanya.
Tuhan, drama apa lagi ini? Overdosis? Bagaimana bisa?
"Lalu kenapa Ara minum obat itu?" tanya mama lagi, kali ini tangannya sudah mengelus lembut pundakku. Kupejamkan mata sejenak, menikmati rasa hangat dan tenang yang dihantarkan elusan wanita yang melahirkanku itu.
"Obat apa, Ma? Ara tidak mengerti apa yang kalian bicarakan. Kalian selalu di dekat Ara, kan? Terus bagaimana bisa Ara minum obat itu tanpa terlihat orang lain?" teriakku histeris.
Aku merasa sisi, percuma aku menjelaskan. Toh, akhirnya tidak ada yang percaya. Mereka akan tetap menuduhku ingin bunuh diri.
"Sudah. Sekarang semuanya keluar, biarkan Diara istirahat dan tenang dulu. Nanti Papa yang akan bicara padanya," putus Papa yang dari tadi hanya diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah?
RomanceApakah melepaskan semudah saat kamu memutuskan untuk menjatuhkan hati? Mencintai seseorang yang tidak pernah menganggapmu ada pasti menyakitkan, bukan? Diara menyelami rasanya, bukan, dia bahkan telah tenggelam karena mencintai laki-laki yang hanya...