8

21.8K 1K 85
                                    

AKU menatap Alin dengan tidak percaya. Rasanya tidak mungkin Rudi yang sudah bekerja padaku sejak awal membuka kafe ini berhenti begitu saja. Bahkan tanpa pamit atau sekadar mengucapkan kata perpisahan padaku. Selama ini kinerja Rudi adalah yang paling baik termasuk dalam hal menciumku. Ah, lupakan saja kejadian itu. Sekarang aku harus fokus pada alasannya lebih memilih resign.

"Rudi nggak ngejelasin kenapa dia resign, Lin?"

"Ada sih, Mbak. Katanya dia mau nerusin bisnis keluarga."

"Bisnis? Rudi kok nggak ngasih tau gue secara langsung? Nggak masalah sih sebenarnya. Cuma untuk pengganti dia itu gimana? Pelanggan kita kan udah cocok sama masakan dia."

"Kalau soal pengganti Mbak tenang saja. Rudi sudah rekomendasiin temannya buat gantiin dia dan hari ini penggantinya itu akan datang, Mbak."

"Yah mau gimana lagi. Cuma gue kesal aja kenapa dia bikin keputusannya mendadak gini. Lo juga kenapa baru sekarang ngasih taunya?" Aku kembali menatap Alin yang memasang wajah memelas.

Sebenarnya aku sedang bingung​ sendiri dengan perasaanku yang entah kesal karena Rudi yang resign mendadak dan Alin baru memberitahu sekarang atau karena dia yang pergi tanpa pamit dan memberi ciuman perpisahan. Sudah kenapa aku berpikir ke ciuman lagi.

"Maaf, Mbak. Bukannya bermaksud tidak mau memberitahu. Tapi, sejauh ini semuanya masih bisa di-handle Adi. Lagi pula seminggu ini Mbak juga sibuk, kan? Alin cuma nggak mau Mbak kepikiran," jelasnya. Dia benar. Aku memang tidak terlalu fokus dengan pekerjaanku sejak berstatus tunangan Dikan.

"Ya sudah, gue percayain semuanya sama lo. Ntar suruh aja chef pengganti itu nemuin gue di sini," putusku.

"Oke, Mbak. Kalau gitu Alin permisi dulu." Aku hanya mengangguk. Perhatian sudah terganggu dengan ponselku yang terus bergetar sejak tadi.

Bang Wira.

Aku tidak percaya saat melihat nama yang tertera di layar ponselku karena akan jadi suatu keajaiban kalau bang Wira menelepon apalagi di jam sibuk kerja begini. Selain begitu mencintai anak dan istrinya abangku itu juga sangat mencintai pekerjaannya.

"Halo, Dek. Kamu di kafe, kan?"

"Iya," jawabku malas karena pertanyaan bang Wira sangat tidak penting.

"Bohong, pasti Ara lagi kelayapan, kan?" Nada suara bang Wira terdengar tidak percaya.

"Kalau nggak percaya ya sudah. Ara lagi banyak kerjaan nih, Abang mau ngomong apa?"

"Abang cuma mau mastiin kalau kamu nggak kabur aja. Soalnya si Dikan pesan buat ngawasin kamu terus, kan si Alghan lagi Abang pinjam hari ini."

"Ck, Abang segitunya banget sama si Kodok Gembrot nggak jelas itu. Emang selama ini Abang nggak ngerasa sudah mengawasi Ara?" Aku berdecak kesal mendengar tawanya.

Bang Wira ini seperti lupa kalau sikapnya selama ini lebih dari sekedar mengawasi tapi sudah seperti mengekang. Bahkan dia selalu bersikap berlebihan mengenai apapun tentangku.

"Eh, eh si Adik kecil berani banget ngatain calon suami. Ntar jadi cinta mati baru tau."

Bang Wira seperti sedang menahan tawa, aku bahkan bisa mendengar jelas ada suara orang lain bersamanya.

"Bela, bela aja terus. Ara tau, Abang pasti sudah disogok, kan?"

"Nggaklah. Abang ini anti suap. Tapi kalau dikasih tiket nonton konser Coldplay siapa yang nolak." Bang Wira terkekeh senang.

Bang Wira itu memang fans fanatik band Coldplay bahkan saking ngefans-nya dia bahkan rela menghabiskan banyak uang cuma demi nonton konser band favoritnya itu.

Kita Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang