AKU memejamkan mata, memegang erat jaket lelaki yang dengan lincahnya membelah jalanan yang sedang padat. Walau sedikit takut, tapi entah kenapa aku yakin dengan kepandaian lelaki ini mengendarai motor. Selama ini aku masih selalu takut naik motor karena pernah jatuh dari motor saat SMP. Sampai sekarang hanya satu orang yang bisa kupercaya membawaku bepergian dengan motor. Aku yakin sekarang dia sedang sibuk berkencan dengan bule-bule cantik.
Perlahan aku turun dari boncengan motor karena takut jatuh begitu motor berhenti di depan sebuah restoran. Kalau bukan karena sudah ada janji bertemu salah satu klien tidak mungkin aku nekat untuk naik motor begini. Naik motor bagiku ibarat menentang maut.
Karena waktu bertemu dengan klien yang mendadak aku terpaksa memakai jasa ojek seperti ini. Jangan kalian tanya kenapa tidak memakai mobilku dan ke mana si Alghan. Aku tidak tahu dia ke mana, yang jelas dia menghilang dengan membawa serta kunci mobilku sejak kemarin.
Aku melepas helm yang kupakai dan mengambil dompet untuk membayar ongkos. Saat akan menyerahkan uang gerakanku tertahan setelah melihat siapa yang ada di depanku.
"Lho ... kamu?" Aku tidak percaya kalau dia yang jadi driver ojek yang kupesan tadi pagi. Aku memang merasa begitu familier dengan bentuk tubuh dan wangi perfume-nya, tapi karena sedang buru-buru aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu.
"Kok kamu sih? Sejak kapan jadi Kang Ojek?" tanyaku dengan nada mengejek. Aku kesal dengan kebohongannya tentang kesibukannya kencan dengan gadis-gadis berambut pirang di sana.
"Apa kabar, Sayang?" Aku tidak menanggapi pertanyaannya. Dengan bibir menutup rapat aku berjalan menjauhinya. Ternyata meeting hari ini adalah caranya mengerjaiku.
"Kamu ngapain jadi Kang Ojek?" tanyaku lagi.
Kutahan keinginanku untuk menendang atau memukulnya saat dia sengaja menggodaku dengan senyum jailnya. Senyum yang masih sama.
"Ini April Mop, Ya." Aku mencebik mendengarnya panggilan khususnya untukku, sejak dulu. Karena dulu dia tidak bisa menyebut huruf R dengan baik. Katanya, Yaya adalah wujud rasa sayangnya padaku.
"Please, deh!" Aku mendelik karena merasa leluconnya sangat krik-krik.
"Mau jemput pujaan hati dong. Dua tahun nggak ketemu pacar, masa sih kamu nggak kangen?" Dia menarik-turunkan alisnya. Aku memukul lengannya karena godaan itu. Tapi, dia malah menarik tanganku yang kemudian digenggamnya.
"Kenapa baru sekarang sih baliknya?" Aku mencoba berdamai saat tanganku masih digenggamnya. Jujur, sebenarnya aku merindukannya, merindukan senyum dan kejailannya.
"Mau gimana lagi, selesainya baru sekarang. Ini aja aku nggak pulang ke rumah dulu, langsung nyamperin pujaan hati yang lagi butuh kang ojek ganteng dan manis kayak aku." Aku menahan senyum mendengar kata-katanya yang masih sama seperti dulu. Narsis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah?
RomanceApakah melepaskan semudah saat kamu memutuskan untuk menjatuhkan hati? Mencintai seseorang yang tidak pernah menganggapmu ada pasti menyakitkan, bukan? Diara menyelami rasanya, bukan, dia bahkan telah tenggelam karena mencintai laki-laki yang hanya...