SECEPAT mungkin aku turun dari mobil. Setengah jam yang lalu aku menerima pesan dari Bang Rian. Tentu saja aku langsung panik dan bingung setelah membaca pesannya padahal saat itu aku sedang diskusi dengan Alin.
Jantungku berdebar makin keras saat sudah masuk ke lift. Aku tidak tahu alasan Bang Rian tidak pernah bilang kalau dia juga memiliki unit apartement di tempat yang sama denganku dulu bahkan berada di lantai yang sama. Tidak lagi sempat memikirkan alasannya, aku lebih memikirkan kondisinya yang sedang tidak sehat.
Selama beberapa hari ini, beberapa kali dia menemuiku baik di rumah atau di kafe. Kedatangannya sedikit banyak bisa mengalihkanku dari memikirkan Dikan yang masih belum bisa pulang dari Belanda.
Aku masuk ke apartement Bang Rian dengan ragu. Dia bahkan memberikan password unit miliknya. Setelah kejadian dia yang mengusirku saat malam pesta pernikahan orang tua kami waktu itu, aku tidak pernah lagi berani masuk ke wilayah pribadi terutama kamarnya.
Dengan dada yang makin berdebar, aku memerhatikan seluruh ruangan yang terlihat rapi. Bang Rian memang tipe lelaki yang menyukai hal-hal yang detail dan rapi, sangat berbeda denganku yang sangat ceroboh. Aku menyukai pengaturan ruangannya, hanya pencahayaan ruangan yang sedikit redup membuatku kurang nyaman. Aku berusaha untuk tidak membayangkan kemungkinan buruk saat sudah berada di depan kamar Bang Rian, mendadak takut dia akan mengusirku lagi.
Aku mengetuk pintu kamar di depanku namun tidak ada sahutan. Aku menguatkan hati jika nanti dimarahi karena lancang masuk ke kamarnya. Hatiku bagai diremas saat melihat Bang Rian yang meringkuk di atas tempat tidur. Apa dia benar-benar sakit?
Aku berjalan perlahan menuju tempat tidur di mana Bang Rian terbaring. Tanganku gemetaran saat akan menyentuh lehernya untuk memastikan suhu tubuhnya. Astaga. Panas sekali, ternyata dia demam. Aku melihat Bang Rian mencoba membuka mata saat aku kembali menempelkan punggung tanganku di dahinya yang berkeringat.
Mata Bang Rian begitu sayu apalagi bibirnya juga pucat. Dia terlihat berbeda dibanding saat menemuiku kemarin. Aku bahkan bisa mendengar suara gemeletuk dari giginya seperti sedang menahan dingin. Sepertinya dia sudah mulai menggigil.
"Apa yang Abang rasakan?" Aku bertanya saat melihat Bang Rian sudah beberapa kali membuka mata namun tidak berapa lama kembali terpejam.
Bang Rian hanya diam. Aku sudah akan menjauh untuk menyelimutinya saat tanganku ditahannya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku menunggunya mengatakan apa yang diinginkannya, tapi setelah beberapa menit tidak juga ada yang diucapkannya.
"Ara harus ngompres dahi Abang supaya demamnya turun," kataku saat Bang Rian tidak juga melepas tanganku. Matanya malah sudah kembali terpejam.
"Tidak usah, Ra. Abang cuma demam biasa." Bang Rian bergumam lirih masih dengan memejamkan matanya.
"Tapi tetap harus dikompres, Bang," jelasku. Tanganku refleks mengelus tangannya yang memegang erat tanganku hingga rasa hangat dari tubuhnya menjalari tanganku.
"Abang cuma butuh, Ara," jawabnya dengan suara pelan mungkin bisa dikatakan sebagai bisikan saking lemahnya.
Aku bingung karena tidak tahu akan membujuknya dengan cara apa. Aku tidak mengerti bagaimana harus bersikap di depannya. Sikapnya yang selama ini selalu menghindar membuatku sulit mengerti keinginannya.
"Jadi, Abang mau Ara gimana? Atau Abang pengen makan sesuatu biar Ara masakin," bujukku masih dengan mengelus tangannya.
Bang Rian hanya menggeleng. Aku benar-benar dibuat bingung olehnya. Setahuku selama ini Bang Rian bukanlah tipe yang sulit diurus saat sakit.
"Boleh Abang peluk, Ara?"
Bang Rian ingin memelukku? Aku tidak percaya dengan pendengaranku. Mataku mencoba mencari kesungguhan dari matanya yang juga sedang menatapku lekat. Mustahil rasanya kalau dia meminta untuk memelukku. Aku tidak ingat kapan terakhir dia memelukku saking sudah lamanya kami tidak pernah berpelukan. Jarak yang dibuatnya diantara kami selama ini perlahan membuatku jadi penakut, takut jika yang aku rasakan ini hanya kebahagian semu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Nikah?
RomanceApakah melepaskan semudah saat kamu memutuskan untuk menjatuhkan hati? Mencintai seseorang yang tidak pernah menganggapmu ada pasti menyakitkan, bukan? Diara menyelami rasanya, bukan, dia bahkan telah tenggelam karena mencintai laki-laki yang hanya...