Ada yg nungguin cerita ini?
Saya update karena lihat bang Rory Asyari di tv tadi. Jadi keingat Langit Prasaja.
Oke deh selamat baca POV nya Langit yang ganteng tapi mulutnya kek cabe rawit.
****
Duniaku benar-benar sudah hancur alias kiamat. Tadi pagi aku dan Desember resmi menikah!
Aku dan dia sudah menjadi suami-istri!
Gila! Gila! Dan Gila!
Ingin rasanya aku membenturkan kepalaku sendiri ke dinding, dan berharap ini hanyalah mimpi buruk.
Gara-gara kesalahan satu malam itu, membuat aku harus membatalkan pernikahanku dengan Naomi. Aku bahkan masih mengingat seminggu yang lalu, Naomi menangis saat Papa menjelaskan alasan untuk membatalkan rencana pernikahan kami. Kedua orang tuanya pun sangat kecewa kepadaku. Aku bisa melihatnya dari tatapan mereka.
Papa dan Pram tetap bersikeras memaksa aku untuk menikahi Desember tanpa harus melakukan tes DNA itu. Jika tidak, Papa akan mengeluarkanku dari kartu keluarga. Dan abangku Pram akan dengan senang menguburkanku di belakang rumah.
Oh sial! Mengapa mereka berdua sangat berpihak kepada Desember daripada aku, keluarganya sendiri. Bukankah darah itu lebih kental daripada air? Tapi sepertinya itu tidak berlaku untuk keluarga Prasaja.
Aku kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya. Ku sandarkan punggungku pada headboard tempat tidur. Aku mengetikkan pesan singkat kepada Naomi yang berisikan permintaan maafku padanya.
Bunyi suara pintu kamar mandi, mengalihkan perhatianku. Kulihat wanita itu berjalan keluar dari sana dengan wajah menunduk. Dia tidak berani menatapku.
Dia masih tetap berdiri sambil memainkan ujung baju tidurnya yang bergambar kartun Doraemon.
Doraemon? Cih! Kenapa gak sekalian baju tidur Spiderman saja yang dia pakai!
Terlihat seperti kekanakan sekali! Tidak ada jiwa dewasanya sedikitpun! Dan sialnya, dia yang berstatus menjadi istriku.
Mataku terus memantau pergerakan dari Desember yang berjalan ke arah tempat tidur. "Kamu mau ngapain?" Tanyaku padanya.
Desember menatapku bingung. "Sa-saya mau tidur, Mas." Jawabnya.
"Tidur di bawah saja, nih ada selimut untuk alas kamu. Saya nggak biasa tidur sama orang baru."
Dia menatapku sendu. "Tapi...."
Aku langsung memotong ucapannya. "Kenapa? Nggak suka? Bukannya kamu sudah terbiasa tidur di lantai?" Ejekku.
Desember masih diam dengan mata yang sudah memerah.
"Dikit-dikit nangis! Diejek nangis! Dibentak nangis! Lama-lama tenggelam nih pulau Sumatera kalau semua orang cengeng kayak kamu!"
Dia menghapus air mata di pipinya yang sudah jatuh menetes. "Ya sudah saya tidur di bawah," Katanya seraya mengambil selimut tadi dan membentangnya di bawah lantai.
"Ini bantal guling saya," Kataku padanya, saat Desember hendak mengambil guling kesayanganku.
Aku mengambil bantal lain dan memberikannya. "Kamu pakai bantal yang ini saja."
"Terimakasih," Ucapnya dengan suara parau. Kemudian dia berbaring di atas selimut tadi.
Aku tersenyum senang. Setidaknya aku tidak tidur satu ranjang dengan dia.
Tapi, bagaimana kalau nanti dia sakit karena tidur di bawah? Ah bodo amatlah! Lagipula alas tidurnya selimutnya yang tebal kok. Dan aku yakin, tubuh dia itu kebal terhadap apapun. Kan orang seperti dia tahan banting. Jadi aku rasa tidak masalah.
Aku mengambil tombol AC untuk menaikkan suhunya. Kasihan juga kalau dia kedinginan. Setelah itu, aku mematikan lampu dan memejamkan mata.
*****
"Mas Langit, bangun.""Mas, ini udah tengah tujuh, Mas gak pergi kerja?"
Tidurku terganggu saat mendengar suara bising itu, yang disusul dengan goyangan pada bahuku.
Aku langsung membuka mata dan melihat Desember yang menyentuh bahuku. "Kamu nggak bisa diam ya? Berisik banget!"
"Ma-maaf Mas, tapi ini udah pagi." Cicitnya.
Aku bangkit dari posisi tidurku dan duduk di tepi ranjang sambil menatapnya tajam. "Emang kenapa kalau saya nggak mau bangun pagi? Hah?! Ada rugi kamu?!"
"Tapi kan, biasanya Mas udah bangun jam segini untuk berangkat kerja."
"Emang kenapa kalau saya nggak mau kerja? Suka-suka saya dong! Mau bangun kek, mau mati kek, mau pingsan kek! Gak usah urusin hidup saya. Ngerti kamu? Pagi-pagi udah bikin emosi!"
Dia jadi orang bego banget deh! Udah tahu semalam kami baru menikah, masa iya pagi ini udah kerja? Otaknya dia pakai kemana coba?
Akh! Kesal banget aku. Ganggu tidur nyenyakku saja.
Aku berjalan ke lemari mengambil handuk milikku.
"Mas mau sarapan apa? Biar saya buatkan." Tanyanya pelan.
"Saya nggak lapar! Dengar ya Des, walaupun kamu sudah menjadi istri saya. Itu bukan berarti kamu bisa dekat ataupun mengatur hidup saya! Ingat, saya itu terpaksa menikahi kamu. Status kamu sebagai istri, itu tidak lebih hanya di atas kertas. Karena saya tidak pernah menganggap kamu sebagai istri saya. Paham kamu?! Mending sekarang kamu pergi deh, keluar dari kamar ini. Sebelum saya benar-benar marah dan berbuat kasar ke kamu! " Bentakku kesal!
Dia kok nggak ngerti situasi banget. Sudah tahu aku lagi emosi, eh malah dipancing. Jadi jangan salahkan aku, jika dia terkena semburkan amarahku pagi ini.
"Saya tahu kamu itu nggak suka melihat saya. Tapi saya tetap berusaha berperan menjadi istri yang baik, walaupun kamu terus jahat ke saya. Apa salah saya? Kenapa kamu harus sejahat ini? Seolah-olah kamu adalah korban dari pernikahan ini? Seharusnya yang marah itu saya. Karena kamu sudah mengambil keperawanan saya, sehingga saya hamil dan terjebak dalam pernikahan bersama pria yang jahat seperti kamu," Balasnya padaku.
Rahangku pun mengeras mendengar luapan emosi dari bibir wanita itu. Aku menatapnya dengan sinis. "Kamu mau tahu, kenapa saya benci sama kamu? Karena kamu anak dari pria yang cacat mental! Dan itu bikin saya geli dan jijik. Kamu pikir saya suka sama tubuh kamu? Hah?! Kalau bukan karena mabuk, saya tidak akan menidurimu! Dan asal kamu tahu, saya tidak pernah menginginkan anak dari kamu!"
Dia menangis sesenggukan. "Tapi kenyataannya saya hamil saat ini. Saya mengandung anak kamu. Tidak bisakah kamu menyayanginya? Anak ini akan sedih jika Ayah kandungnya tidak bisa menerimanya kehadirannya."
Aku memejamkan mataku sesaat. Perkataan dari Desember tadi ada benarnya juga. Janin yang dikandungnya itu tidak bersalah. Walaupun aku belum bisa memastikan itu adalah darah dagingku atau tidak, yang jelas aku adalah pria pertama baginya. Mungkin tidak perlu dilakukan tes DNA lagi. Sudah pasti aku adalah Ayah dari janin tersebut.
"Baiklah... saya akan menerima dan merawat bayi itu, jika dia terlahir dengan normal. Tapi, kalau dia lahir cacat mental seperti Bapak kamu, maka kamu yang harus merawat nya," Ucapku padanya.
Desember menatapku dengan penuh air mata. Aku yakin saat ini dia sedang memaki diriku di dalam pikirannya. Karena aku sudah menghina kekurangan Bapak kandungnya.
Mungkin karena tidak mau berdebat denganku lagi, dia pun mengangguk sambil menghapus air mata di pipinya. "Iya, terserah kamu saja."
"Saya mau, sebulan setelah anak itu lahir, kita berdua harus langsung bercerai!" Kataku.
Dia mengangguk lagi tanpa berkata apapun.
Bagus deh kalau dia tidak menolak permintaanku tadi. Mungkin ini adalah keputusan terbaik untuk kami berdua.
Setelah itu, aku masuk ke dalam kamar mandi. Meninggalkan Desember yang berdiri mematung di sana.
9-Desember-2016

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, December!
Fiksi Umum(HELLO SERIES #1) Desember adalah namaku dan bulan kelahiranku. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 20, Tuhan menguji hidupku. Di sanalah awal mula perjalanan kisahku yang penuh dengan air mata, dan aku yakin kalian tidak akan sanggup untuk berada d...