Gara-gara insiden selang infus itu, aku jadi tidak mendapat jatah. Mana susah lagi bujukin Desember untuk berhubungan badan. Benar-benar sial!
Pagi ini aku sudah diperbolehkan pulang. Pak Maman, supir pribadi Papa yang menjemput aku dan Desember dan sekarang ini sedang menuju perjalanan ke rumah. Aku menoleh ke samping. Ada yang aneh dari Desember. Dia tampak gelisah sambil mengetikkan sebuah pesan di ponselnya yang menurutku sudah sangat jadul sekali. Sepertinya aku harus membelikannya ponsel baru.
Setibanya di rumah, aku dan Desember langsung masuk ke dalam kamar. Sudah tiga hari, aku tidak menempati kamarku. Rasanya senang sekali bisa kembali tidur di atas ranjang kesayangan.
"Mas, saya mau permisi pulang ke rumah dulu."
Aku yang tadinya berbaring telentang di atas ranjang, refleks langsung terbangun. "Pulang ke rumah kamu? Ngapain?"
"Kata adik saya Bastian, Bapak lagi sakit. Katanya kangen sama saya. Jadi saya minta izin ya mas, untuk menginap satu malam di sana."
Aku tidak pernah suka melihat Bapaknya Desember. Kenapa pria idiot itu harus menyusahkan putrinya sendiri. Baru ditinggal beberapa hari, udah sakit. Aku tidak mau mengakuinya sebagai mertuaku. Entahlah, aku tidak suka. Dan jangan sampai anakku yang dikandung oleh Desember ikut tertular dengan penyakit pria itu.
"Kenapa kamu harus pergi? Kan sudah ada adik kamu yang menjaganya," Kataku.
"Tapi saya khawatir sama keadaan Bapak. Bapak tidak pernah pisah dari saya," Ucapnya sedih.
"Harusnya kamu tahu posisi kamu sekarang. Kamu sudah menikah dan menjadi istri saya. Prioritas utama kamu, bukan lagi keluarga kamu. Tapi saya, suami kamu sendiri. Saya baru sembuh, dan kamu mau pergi ninggalin saya? Begitu? Istri macam apa kamu, Des?" Tanyaku dengan intonasi tinggi.
Dia menatapku dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Kita memang menikah tapi bukan berarti saya harus melupakan keluarga. Bagi saya, keluarga adalah nomor satu di dalam hidup saya sendiri. Apa saya salah, jika ingin melihat keadaan Bapak saya yang sedang sakit?"
"Salah! Karena saya tidak suka dengan keadaan Bapak kamu."
"Kenapa Mas? Apa karena Bapak saya tidak bisa normal seperti orang tua lainnya?"
"Ya."
Dia menatapku dengan pandangan terluka. Satu cairan bening jatuh dari pelupuk matanya. "Saya terima kalau mas Langit menghina saya, mencaci saya, bentak saya atau apapun itu. Tapi saya sakit hati, kalau Mas menghina kekurangan Bapak saya. Seperti apapun keadaannya, dia tetaplah orang tua saya."
Dia berhenti berbicara dan memandang ke arah lain. Sampai akhirnya aku mendengar suara isakan tangisnya. Dengan suara yang bergetar dia kembali berbicara. "Jika mas Langit menerima saya sebagai istri, harusnya Mas juga menerima keadaan keluarga saya. Seperti saya yang juga sayang kepada orang tua mas Langit."
"Jangan sama kan orang tua saya dengan orang tua kamu, Des! Itu beda, jauh berbeda."
Kepalanya mengangguk pelan. "Ya... terimakasih sudah mengingatkannya. Terserah mas Langit mau memberi izin atau tidak. Yang jelas, saya mau pulang dan menjaga Bapak saya."
Dia berjalan ke arah lemari untuk mengambil dompet miliknya.
"Kamu boleh pergi, tapi tidak boleh menginap Des," Ucapku memperingatkan.
Desember diam saja dan tidak membalas ucapanku, setelah itu dia langsung pergi menutup pintu. Sial! Awas saja kalau dia tidak pulang. Akan aku buat dia menangis semalaman!
*****
Aku melirik jam dinding yang ada di dalam kamarku. Sudah jam 10 malam, tapi dia belum juga pulang. Bukan karena aku khawatir padanya. Tidak. Aku hanya tidak suka jika dia tidak menurut lagi seperti apa yang aku mau.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, December!
Fiksi Umum(HELLO SERIES #1) Desember adalah namaku dan bulan kelahiranku. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 20, Tuhan menguji hidupku. Di sanalah awal mula perjalanan kisahku yang penuh dengan air mata, dan aku yakin kalian tidak akan sanggup untuk berada d...