Langit ~ 16

39.1K 3.3K 188
                                    

Sampai di pagi hari pun, badanku masih terasa hangat namun menggigil, kepala ikut pusing dan juga mual. Sungguh ini sangat menyiksa sekali. Itu semua karena wanita yang sedang kupeluk saat ini. Aku tidak akan berjam-jam di kamar mandi hanya untuk bermasturbasi, jika dia mau melayaniku di atas ranjang.

Dia tinggal telentang sama mendesah doang, gitu aja susah banget! Lihat saja nanti kalau aku sudah sembuh dan punya tenaga lagi. Bakalan aku buat nangis dia tiap hari. Ah, gondok sendiri jadinya.

"Mas, saya mau bangun."

Bodo amat! Aku tetap pura-pura tidur dan menguatkan pelukanku pada tubuhnya. Emangnya cuma dia yang bisa pura-pura tidur? Aku juga bisa, Des!

"Mas Langit...." Panggilnya lagi.

Aku membuka mata. "Apa sih Des?"

"Mas minum obat dulu. Jadi biarkan saya bangun untuk memintanya ke mas Pram. Lagipula saya juga harus menyiapkan sarapan pagi."

Aku mendesah pelan mendengar ucapannya. Dengan terpaksa aku melepas pelukanku dan membiarkan Desember pergi. Dia memberikan bantal guling padaku sebagai ganti dirinya. Tidak lupa diselimutinya tubuhku sampai sebatas leher.

Aku menatap kepergiannya yang berjalan ke arah pintu. Lumayanlah, setidaknya dia istri yang baik dan penurut.

Baru beberapa menit Desember keluar, tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan kehadiran Mama dan bang Pram.

"Kata Des, kamu demam sayang," Ujar Mama seraya mendekatiku.

"Iya Ma, Langit lagi nggak enak badan."

Lalu bang Pram menyentuh dahiku. Kemudian dia mengukur suhu tubuhku dengan termometer. "37,5 derajat celsius. Hangat doang ini, cuma gejala meriang Ma," Serunya.

"Cuma meriang gimana? Lihat nih adek kamu lemas banget. Kamu jadi dokter gimana sih? Nggak perhatian banget sama adek sendiri," Protes Mama.

"Nggak usah berlebihan deh, Mama. Dikasih obat paracetamol atau ibuprofen aja sembuh kok nantinya dia."

"Kamu kok santai banget sih? Gimana kalau Langit kena demam berdarah atau penyakit parah? Langit nggak pernah sakit sebelumnya. Udah ya, sekarang kita bawa dia ke rumah sakit. Biar di cek darahnya. Mama nggak bisa tenang sebelum tahu hasilnya."

"Astaga Ma... jangan malu-maluin Pram deh. Langit itu tidak demam, cuma gejala meriang loh. Nggak perlu diperiksa darah. Paling dia kecapean karena kebanyakan begadang tengah malam, maka nya daya tahan tubuhnya menurun. Mama kayak nggak ngerti pengantin baru aja."

Oh sial! Punya abang kok kampret banget. Pakai diperjelas lagi pengantin barunya. Dapat jatah aja enggak, sakit iya!

"Enggak usah Ma, Langit benci aroma bau rumah sakit. Langit di sini aja. Biar Desember yang merawat Langit," Kataku.

"See? Mama lihat sendiri kan? Langit mau dirawat sama istrinya sendiri. Cuma Desember yang bisa sembuhin. Masa Mama nggak ngerti juga," Celetuk bang Pram lagi.

Double kampret untuk bang Pram! Gara-gara ucapannya, Mama pasti jadi mikir yang aneh tentang aku.

"Tapi kan Mama tetap khawatir. Udah deh pokoknya Langit dibawa kerumah sakit sekarang juga. Biar jelas semuanya," Seru Mama sambil berjalan keluar dari kamar.

Aku menoleh ke arah bang Pramuda saat dia mencolek bahuku. "Apa?" Tanyaku.

"Maka nya jangan kemaruk jadi pengantin baru. Dulu aja nolak mau nikahin Desember, sekarang diembat juga. Ingat Lang, dia lagi hamil. Jangan terlalu sering minta jatah."

Aku mengernyitkan kening. "Jatah apaan? Kami nggak ada melakukan aktivitas suami istri, kalau itu yang bang Pram maksud."

Bang Pramuda tertawa. "Masa iya? Terus cupang-cupang merah yang aku lihat tadi pagi dileher istrimu apaan Lang? Gigitan vampir? Yang benar aja!" Sindirnya padaku.

Hello, December!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang