Desember ~ 23

43.4K 3.3K 269
                                    

Sudah tiga hari mas Langit berada di bandung. Setiap pagi dia akan menelepon dan malam harinya akan video call. Dia berubah menjadi baik hanya karena menginginkan tubuhku saja.

Aku sangat ingat dengan semua perkataannya dulu yang mengatai aroma badanku yang bau. Dia yang menolak mengakui bahwa ini anaknya. Dan dia yang tidak mau merawat bayi ini, jika terlahir seperti Bapak.

Aku seperti gelas kaca yang dijual di sebuah toko. Dan mas Langit sebagai pengunjung yang tidak sengaja menjatuhkan gelas kaca sehingga menjadi retak. Mau tidak mau, dia terpaksa harus membeli gelas yang sudah rusak tersebut. Seperti itulah pernikahaan ini. Dia terpaksa menikahiku karena tidak sengaja merusakku.

Segala sesuatu yang dipaksa tidak akan pernah berhasil. Maka dari itu, aku akan kembali memegang prinsip awal mengapa aku mau menikah dengannya. Itu semua hanya untuk status bayi ini aja. Setelah bayi ini lahir, aku akan meminta cerai dengannya. Aku tidak peduli dengan ancamannya. Dia tidak akan bisa menghamiliku lagi, karena dia tidak punya hak untuk menyentuhku jika sudah resmi berpisah.

Aku tidak mau hidup bersama pria seperti mas Langit. Dia tidak mencintaiku, dia hanya tertarik dengan tubuhku. Lagipula aku itu sangat susah untuk jatuh cinta, apalagi dengan pria tempramental seperti dia. Akan sulit untuk menyukainya. Jadi perceraian adalah jalan keluar, itu adalah keputusanku.

Setelah selesai merapikan tempat tidur, aku pergi ke dapur untuk membantu Mama mertua menyiapkan makanan. Siang ini  teman arisannya datang ke rumah.

"Teman Mama udah datang ya? Sini Des bantuin bawa minumannya," Ucapku seraya mengambil tempat nampan kayu.

"Tidak usah, kamu di kamar saja. Mama bisa sendiri." Balas Mama ketus.

Sampai detik ini, ibu Meta pun belum menerima kehadiranku sebagai menantunya. Aku tidak marah dan tidak sakit hati. Aku tahu perasaan beliau yang menginginkan menantu cantik dan berkelas seperti mbak Naomi, bukan perempuan desa seperti diriku. Aku sangat sadar untuk itu.

Daripada membuat Mama marah, aku memutuskan untuk kembali lagi ke dalam kamar. Saat membalikkan badan, aku melihat ada bang Pram berdiri di belakangku. Aku tersenyum sekilas dan berjalan melewatinya. Tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan mereka berdua.

"Mama apaan sih? Kenapa ketus seperti itu sama Desember?"

"Mama nggak ketus, memang seperti itu nada bicara Mama dari dulu."

"Terus kenapa Mama nggak bolehin Desember untuk bantu Mama?"

"Dulu dia pembantu dan secara tiba-tiba sudah menjadi menantu. Mama belum bisa menerima dia sepenuhnya di rumah ini, Pram! Mama juga malu mengakui dia di depan teman-teman arisan Mama sebagai menantu."

Aku bersandar dibalik dinding dapur itu. Ternyata benar dugaanku, beliau malu mengakui keberadaanku ini. Jika sudah seperti ini, pilihanku untuk bercerai adalah hal yang tepat. Aku akan mengembalikan posisi yang seharusnya adalah milik mbak Naomi. Dialah menantu yang diharapkan di rumah ini, bukan aku.

Aku sedikit terkejut saat ada yang menepuk bahuku. "Adek, kamar mandinya di mana ya?" Tanya wanita paruh baya itu.

"Oh di sana Bu," Tunjukku ke arah kiri.

"Kalau boleh tahu, kamu ini siapa? Bukannya keluarga Prasaja tidak punya anak perempuan?"

"Saya bukan siapa-siapa, hanya seorang pembantu di rumah ini," Jawabku tersenyum.

"Oh begitu... tapi kamu terlalu muda dan manis sekali untuk menjadi pembantu."

"Terimakasih atas pujiannya."

"Baiklah, saya ke kamar mandi dulu."

"Iya Bu, silahkan." Aku kembali tersenyum.

*****

Aku terbangun dari tidur nyenyakku saat mendengar suara ponsel berdering. Aku mendengus saat membaca nama yang tertera di layar ponsel itu. Ya Tuhan... kenapa mas Langit suka sekali melakukan video call tengah malam begini?

Ingin sekali aku menolak panggilan itu ataupun mematikan ponselnya saat malam. Tapi mas Langit pasti akan murka sekali. Aku pernah dimarahinya karena terlalu lama menjawab telepon atau dia akan curiga bahwa aku berselingkuh jika nomorku sibuk. Padahal aku hanya berbicara dengan adik dan Bapak saja.

Kuhusap tombol warna hijau untuk menerima panggilan video itu. "Mengapa lama sekali menjawabnya?!" Wajah kesalnya langsung terlihat di layar ponsel.

"Maaf... aku sudah ketiduran Mas."

"Baru juga jam 12 malam."

"Iya tapi aku mengantuk," Kataku seraya menguap.

"Jangan tidur dulu Des, temani aku. Bosan sendirian di kamar hotel."

"Memangnya teman-teman mas Langit, pergi kemana?" Tanyaku.

"Biasa cari hiburan."

"Kenapa Mas nggak ikut?"

"Enggaklah. Aku nggak mau jajan di luar. Tunggu pulang saja, biar bisa dapat jatah dari kamu."

Aku jadi salah tingkah karena mendengar ucapannya barusan.

"Oh iya Des, besok pagi aku udah pulang. Aku udah bawa ole-ole untuk kamu," Ucapnya lagi.

"Untukku? Apa?"

"Aku beli dua pasang lingerie," Jawab mas Langit tersenyum.

"Lingerie? Oh itu makanan khas dari Bandung ya?"

Dahiku berkerut kala melihatnya tertawa bahagia di layar ponsel itu.

"Itu bukan makanan, tapi sejenis baju tidur gitu."

"Oh...." Aku bergumam.

"Nanti kamu pakai ya." Aku mengangguk saja untuk memberi jawaban.

"Mas, udah dulu ya? Aku sudah mengantuk sekali."

"Kalau kamu tidur, terus teman aku ajak ngobrol siapa?"

"Mas tidur saja."

"Aku belum ngantuk, Des. Aku masih rind... hem maksudku... aku butuh teman bicara." Dia terlihat canggung.

"Mas mau bicara apa tengah malam begini?"

"Kamu kenapa sih Des? Kayaknya nggak senang banget, aku ganggu tengah malam gini?" Dia mulai kesal melihatku.

"Yaudah aku minta maaf," Bujukku padanya.

"Udahlah! Matiin aja video call nya. Aku udah malas lihat muka kamu yang nggak ikhlas itu!" Bentaknya padaku.

Lalu beberapa detik kemudian wajahnya sudah tidak ada lagi di layar ponselku. Dia mematikan panggilan itu. Mas Langit benar-benar marah.

Aku mendesah pelan dan berbaring lagi di atas ranjang. Kenapa sih mas Langit sensitif banget? Sebenarnya siapa yang hamil di sini? Aku atau dia? Aneh banget.

1-Januari-2017

Hello, December!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang