Desember ~ 13

32.9K 3.1K 133
                                    

"Aku akan menerima dan merawat bayi itu, jika dia terlahir dengan normal. Tapi, kalau dia lahir cacat mental seperti Bapak kamu, maka kamu yang harus merawat nya," Ucap nya padaku.

Hatiku sangat teriris mendengar perkataan pria itu. Mengapa mereka selalu membawa Bapak dalam masalah ini? Bapak memang memiliki keterbelakangan mental tapi dia tidak gila.

Aku hanya bisa menerima nasib yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan untukku.

Aku pun mengangguk sambil menghapus air mata di pipi ku. "Iya, terserah kamu saja." Cuma kalimat itu yang terucap dari bibirku yang terasa kering dan perih.

"Saya mau, sebulan setelah anak itu lahir, kita berdua harus langsung bercerai!" Sambungnya lagi.

Aku hanya menganggukkan kepala. Kalau bisa detik ini juga aku ingin bercerai darinya. Tapi tidak akan ada pengadilan yang menerima proses cerai jika aku sedang hamil begini. Setidaknya aku harus bersabar selama 9 bulan ini. Supaya anakku punya status dan bisa memiliki akte kelahiran nantinya.

Langit berjalan ke dalam kamar mandi. Sementara aku masih berdiri di tepi tempat tidur. Ku elus perutku yang masih tampak datar. "Sehat terus ya sayang, jangan dengerin ucapan Ayah tadi. Ibu akan terima semua segala kekurangan kamu. Jadi, jangan sedih ya.... Ibu sayang kamu banyak-banyak," Kataku sambil tersenyum.

Aku sedikit terkejut saat mendengar suara ponsel Langit yang berdering di atas meja. Kulihat nama Naomi Sayang yang tertera pada layar ponselnya.

Aku jadi merasa bersalah karena sudah hadir menjadi orang ketiga yang merusak rencana pernikahan mereka berdua.

Mungkin setelah aku dan Langit bercerai, mereka akan langsung menikah. Dan jika bayi ini lahir normal tanpa cacat sedikitpun, maka Langit yang akan merawatnya. Aku rasa itu keputusan terbaik. Setidaknya hidup anak aku bisa terjamin masa depannya, kalau dia tinggal bersama Ayahnya. Supaya hidupnya tidak susah sepertiku. Semoga Naomi bisa jadi Ibu tiri yang baik nantinya. Jadi aku bisa mengunjungi anak aku jika sedang rindu.

Aku mengambil ponsel itu dan berjalan ke kamar mandi. Ku ketuk pintunya sebanyak tiga kali.

TOK! TOK! TOK!

Dia membuka pintu dengan bertelanjang dada. Refleks aku langsung menundukkan kepala.

"Apalagi sih? Ganggu orang lagi mandi aja!" Ketusnya padaku.

Tanganku menyodorkan ponsel miliknya. "Ini, Mbak Naomi Sayang telepon," Ujarku dengan kepala masih tetap menunduk. Jadi aku tidak tahu ekspresi wajahnya seperti apa.

Dia mengambil ponsel itu dari tanganku lalu menutup pintu kamar mandinya kembali.

Setelah itu aku keluar dari kamar dan untuk membuat susu dan sarapan. Keluarga Prasaja selalu meminum susu setiap pagi. Mereka sangat menjaga pola makanannya. Dan itu terbukti, tubuh mereka sehat dan jarang sekali sakit.

Saat tiba di dapur, kulihat Pramuda baru selesai sarapan. Di atas meja sudah tersedia nasi putih, nasi goreng, telur mata sapi, ikan teri sambal, kerupuk dan susu putih.

Siapa yang masak semua ini? Apa mungkin mama mertuaku ya?

"Baru bangun Des? Ayo sarapan," Ajak Pram tersenyum.

"Hem... ini siapa yang masak?" Tanyaku padanya.

"Mama yang masak," Sahut Mama mertuaku yang baru muncul di dapur. "Nunggu kamu bangun, bisa kelaparan suami dan anak-anak saya. Percuma saya punya menantu tapi nggak bisa diandalkan."

Aku meringis mendengar perkataan Mama mertua. Salah aku juga sih, telat bangun. Habisnya, kamar mas Langit nggak ada jendelanya. Jadi aku gak bisa bedain udah pagi atau masih malam. Udah gitu nggak kedengaran ayam berkokok juga.
Tadi aku terbangun karena kedinginan. Aku nggak biasa tidur dengan ruangan ber-AC. Aku tahunya udah pagi karena melihat jam di dinding kamar mas Langit. Sepertinya mulai besok aku harus buat alarm di ponsel, supaya bisa cepat bangun pagi.

"Maaf Ma, besok Des cepat bangun untuk masak sarapan pagi."

"Udahlah Ma, lagian wajar Des telat bangun. Dia kan pengantin baru dan masih penyesuaian juga di rumah ini," Ujar Pram.

Mama hanya mendengus mendengar putera sulungnya yang membelaku.

"Langit mana? Kenapa nggak turun sarapan?" Tanya Mama padaku.

"Mas Langit lagi mandi, Ma."

"Kalau gitu kamu tunggu suami kamu turun dulu, baru boleh sarapan. Di rumah ini, suami istri itu wajib makan bersama. Kecuali, suami pergi ke luar kota. Ngerti kamu Des?"

Aku mengangguk. "Iya, Des ngerti Ma."

"Yaudah, kamu nyuci baju dulu sana nunggu Langit selesai mandi. Habis sarapan jangan lupa cuci piring sama bersihkan rumah."

"Ma, Desember lagi hamil. Biar dia sarapan dulu baru kerja. Ada calon cucu Mama di dalam rahim dia yang harus dikasih makan juga."

"Mama juga dulu pernah hamil Pram, nggak usah berlebihan deh. Orang hamil itu kalau nggak kerja, bisa jadi malas badannya untuk bergerak. Dulu mertua Mama lebih cerewet lagi. Tapi Mama nggak pernah ngeluh ke Papa kamu. Karena yang namanya menantu harus tetap nunduk kalau diberi nasehat. Kecuali mertuanya jahat dan main tangan, itu baru boleh dilawan. Kalau nggak mau punya mertua, ya cari pasangan yang kedua orang tuanya sudah meninggal. Biar bisa bebas dari omelan mertua," Sindir Mama padaku.

Aku langsung membuka mulut saat melihat Pramuda hendak melawan ucapan Mamanya lagi. "Udah mas Pram, saya belum lapar banget kok. Nanti saya makan bareng mas Langit saja. Saya ke belakang dulu, permisi." Kataku sambil menundukkan kepala.

Setelah setengah jam, akhirnya aku selesai mencuci dan menjemur pakaian. Ku letakkan ember di kamar mandi, lalu aku berjalan ke meja makan. Tapi mas Langit belum juga turun dari kamar. Padahal aku sudah lapar sekali.

Aku putuskan untuk memanggilnya. Kubuka pintu kamar, dan ternyata mas Langit tidur lagi di atas ranjang.

"Mas," Panggilku sambil menggoyangkan kakinya pelan. Takut dia memarahiku.

"Apa?" Jawabnya tanpa membuka mata.

"Ayo sarapan, saya sudah lapar."

"Kalau lapar ya sudah makan sana, ngapain lapor ke saya."

"Tapi kata Mama, peraturan di rumah ini, suami-istri itu harus makan bareng. Jadi saya harus nunggu mas Langit kalau mau sarapan."

"Saya nggak lapar!" Bentaknya kesal.

Aku menunduk. "Jadi saya harus gimana? Saya bingung dan saya lapar."

"Bodo amat! Emang saya pikirin!"

Kenapa dia nggak bisa baik sedikit saja sama aku. Paling enggak dia mikirin keadaan anaknya ini. Aku terduduk di pinggir ranjang dengan meneteskan air mata.

"Yaelah, nangis lagi anak orang." Ejeknya padaku.

"Sa-saya dan anak ini lapar. Ta-tapi kami berdua nggak bisa makan karena peraturan aneh di rumah ini," Kataku sesenggukan.

Aku rasakan pergerakan pada ranjang. Ku lihat mas Langit sudah berjalan di depan pintu. "Mas Langit mau kemana?" Tanyaku sambil menghapus air mata.

"Yaudah ayo! Capek saya lihat kamu nangis," Ucapnya tanpa menoleh ke arahku.

Dengan sesenggukan aku ikut berjalan di belakangnya menuju dapur. Akhirnya makan juga, walaupun harus nangis dulu.

Setibanya di meja makan, aku langsung mengambil piring untuk dia terlebih dahulu.

"Saya nggak makan, saya minum susu saja." Ujarnya. Aku pun mengangguk. Jadi aku hanya menuangkan susu putih di gelasnya.

Setelah itu, aku mengambil piring untuk sarapanku sendiri.

"Makan yang banyak. Biar kamu punya tenaga buat nangis lagi," Sindir Langit.

Aku hanya menunduk dan terus memakan lauk yang ada di atas piring. Aku sering nangis gini kan karena dia juga.

"Pasti bentar lagi nangis," Seru Langit lagi.

Aku mendongak untuk menunjukkan wajahku padanya. "Enggak kok," Kataku pelan.

Mas Langit hanya cuek dan mengedikkan bahunya sambil menghabiskan susu yang ada di gelas miliknya.

11-Desember-2016

Hello, December!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang