Aku tersenyum saat keluar dari kamar mandi bersama Desember. Kami berdua mandi bersama pagi ini. Awalnya dia tidak mau, tapi aku langsung saja menyelonong masuk ke dalam saat dia mau menutup pintu. Niat sih ingin mandi, namun begitu melihat Desember menyabuni tubuh polosnya. Imanku mendadak runtuh dan akhirnya aku mengajaknya untuk desah-desahan lagi.
Bercinta di dalam kamar mandi bersama dengan istri sendiri, itu rasanya sungguh luar biasa mantap. Di sana, aku bisa mendengar desahan dan teriakan Desember tanpa perlu takut ketahuan orang rumah. Sepertinya aku dan Desember harus punya tempat tinggal sendiri, mengontrak di rumah kecil juga tak apa-apa. Supaya kami berdua bisa mandiri dan bebas mau melakukan apapun.
"Des, kamu mau kan kalau kita berdua tinggal di rumah kontrakan?" Tanyaku sambil berjalan ke arah lemari pakaian untuk mengambil baju dinasku.
"Mau ngontrak di mana?" Dia bertanya balik.
"Di dekat kantor aku ada ruko yang dikontrakkan. Kalau kamu mau, biar aku bilangin ke orangnya nanti," Kataku seraya membuka handuk dipinggul dan menggantinya dengan pakaian kerja.
Desember menunduk malu saat melihatku berganti pakaian. Dia kenapa coba? Kayak nggak pernah lihat aku telanjang saja. Masih malu kucing, padahal dia sudah tahu betul bagaimana bentuk dan rasa dari setiap tubuhku. Bahkan kami sudah 3 kali melakukannya. "Kamu mau atau tidak Des?" Tanyaku lagi.
"Aku mau Mas, tapi tempat itu terlalu jauh. Apa tidak ada kontrakan yang dekat dengan kampung kita? Supaya aku bisa sering berkunjung ke rumah Bapak," Jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
Ah, aku lupa kalau dia tidak bisa jauh dari Bapak dan adiknya. "Di sini nggak ada tempat yang mau dikontrakkan. Kebanyakan lahan sawah, Des."
"Kalau begitu tidak usah Mas, kita di sini saja. Lagian setelah bayi ini lahir, kita kan mau bercerai. Jadi sayang uang kontraknya nanti."
Cerai? Oh sial! Dia masih ingat dengan ucapanku yang dulu. Perkataan itu keluar di saat aku lagi emosi. Dan aku tidak sungguh untuk hal itu. Aku tidak mau menceraikannya. Aku mau Desember tetap menjadi istriku, yang akan melahirkan anak-anak kami nantinya.
Selesai berpakaian, aku menghampiri Desember yang duduk di atas ranjang. Dia mengeringkan rambut panjangnya yang basah karena habis keramas tadi dengan tubuh yang masih terbalut handuk.
"Aku tidak mau kita bercerai," Kataku dengan duduk di sampingnya. Lalu ku kecup bahu nya yang masih basah dari tetesan rambutnya. Aroma shampoo dari rambutnya begitu menggoda, padahal dia hanya memakai shampoo biasa yang dijual di kedai.
"Mas Langit," Desahnya saat bibirku mengecup lehernya serta tangan kananku meremas dadanya yang masih tertutupi handuk.
"Kenapa Des?" Tanyaku sambil menggigit cuping telinganya.
"Jangan lagi, aku benar-benar lelah." Tangannya menahan tanganku untuk tidak nakal lagi.
"Oh ya?" Tanyaku memastikan.
Desember mengangguk pelan dengan mata terpejam. "Kita sudah tiga kali melakukannya. Tadi malam, subuh dan barusan di kamar mandi."
Aku tersenyum dan menarik diri untuk menjauh darinya. "Baiklah, terimakasih sudah mengingatkanku."
"Mas sudah berpakaian lengkap, kenapa tidak keluar kamar dulu? Aku mau memakai baju juga."
"Kalau aku tidak mau keluar memangnya kenapa? Kamu kan istriku, jadi tidak masalah jika aku melihatmu berganti baju."
"Tapi aku malu."
"Astaga Des, kita sudah tiga kali bercinta dengan berbagai posisi. Dan sekarang kamu masih malu hanya untuk berganti baju?" Tanyaku heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, December!
Ficción General(HELLO SERIES #1) Desember adalah namaku dan bulan kelahiranku. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 20, Tuhan menguji hidupku. Di sanalah awal mula perjalanan kisahku yang penuh dengan air mata, dan aku yakin kalian tidak akan sanggup untuk berada d...