Photo is just like an allegory
All that was taken when you press the shutter
It is just a plain and empty box of figure
Kuperhatikan terus warna biru cerah di langit. Langit biru tanpa awan. Langit kosong.
Teman sekelasku yang berdiri di depan kelas sibuk mengoceh menjelaskan kisah Hamengkubuwono IX sama sekali tidak kuperhatikan. Toh, tidak ada satu materi pun yang berhasil mendobrak masuk ke dalam otakku, asal lewat begitu saja seperti dengung serangga yang tidak penting.
Kulirik guru sejarahku yang hanya duduk dan memperhatikan penjelasan teman sekelasku. Tidak ada ekspresi khusus, hanya diam menonton. Tipe guru seperti inilah yang paling kubenci. Paling senang memberi tugas muridnya untuk membuat presentasi dan menyuruh muridnya menerangkan di depan kelas setiap harinya tapi gurunya sendiri hanya duduk tanpa komentar tidak peduli yang diterangkan muridnya itu benar atau salah. Tipe yang suka memberi soal-soal aneh di ujian akhir nanti tanpa kisi-kisi dan hanya para maniak sejarah-lah yang mampu menjawab.
"... Itu sekian dari presentasi kami. Sekarang lanjut nonton video" ucap salah seorang teman sekelasku yang ikut dalam kelompok presentasi hari ini.
Kata 'video' itu sukses menarik perhatian anak-anak sekelas yang tampak suntuk dengan presentasi yang monoton. Apa yang bisa kau harapkan dari presentasi Sejarah ?. Materinya yang monoton tentunya menghasilkan presentasi yang monoton.
Aku menutup mataku saat video mulai diputar. Hanya suaranya saja yang kudengarkan. Ini menyebalkan. Tidak ada yang menarik dari sebuah video dokumenter. Gambarnya yang kabur tidak pernah kupahami jadi kututup saja mataku. Aku bukan seorang fanatik film dokumenter. Aku juga bukan orang yang cukup nasionalis untuk menonton film dokumenter negara sendiri.
Ingin rasanya kukeluarkan komentar pedas mengenai metode pembelajarannya ini tapi aku terlalu takut untuk ditendang keluar kelas. Begini-begini aku masih betah hidup jadi murid baik-baik dan nggak mau ambil masalah. Yah, kalau boleh bilang jujur, aku ingin sekali pergi keluar kelas dan melakukan hal lain yang lebih berguna ketimbang mengikuti pelajaran yang tidak pernah kupahami ini. As if I could say that.
Teeeeet Teeeeet
Tampang-tampang suntuk di kelasku langsung dihidupkan oleh dua kali suara bel yang menandakan waktu istirahat, mengumandangkan akhir dari siksa dunia, bel penyelamat sejuta umat pelajar.
"Hari ini cukup sekian saja. Minggu depan kita kaji kembali video yang kita tonton hari ini" ucap Bu Desi akhirnya
Ah, setelah 90 menit pelajaran sejarah berlangsung itu adalah suara yang kudengar kedua kalinya hari ini setelah ucapan 'Presentator hari ini silahkan maju' yang diucapkannya di awal pelajaran tadi. Sungguh-sangat-irit-sekali.
Kuperhatikan saja punggung beliau saat melangkah keluar kelas sampai tidak terlihat lagi. Yang beliau bawa hanya satu buku cetak sejarah dan tidak pernah kulihat buku itu terbuka. Perawakan beliau yang kecil tampak kontras dengan make up berkesan dewasa yang dipakainya, dan itu cukup membuat Beliau dikenal baik oleh murid-muridnya. Yeah, selain penampilan, cara mengajarnya yang super monoton juga cukup banyak ambil andil dalam reputasi popularitasnya di sekolah ini.
"Hueeeh, bujug gile dah. Gue bosen banget di depan" komentar Niel sekembalinya duduk di bangkunya, tepat di sebelahku.
Aku mentertawakan wajah suntuknya mengingat Niel berdiri 2 jam pelajaran di depan menerangkan apa yang aku yakin 100% sama sekali tidak ia pahami. Yang perlu Niel lakukan hanya membacakan tulisan yang terpampang di layar LCD dan kebanyakan presentasi itu dibuat oleh anak perempuan anggota kelompoknya.
YOU ARE READING
Our Box of Figure
Teen FictionTerjebak dalam sosok arwah gentayangan membuat Bara Yudhistira kebingungan. Pasalnya ingatannya sebelum menjadi arwah hanya membekas separuh di kepalanya, apalagi arwahnya terikat dengan seorang anak perempuan indigo sakit-sakitan bernama Amethyst D...