| 20 | Donatur

215 12 0
                                    

#Oke, untuk part ini aku muter otak lebih banyak dari part yang lain buat ngejelasin bagian yang hilang (ex : Kenapa Bara harus mati ? Dan apa hubungannya dengan Amethyst) tapi karena nggak pingin ngejelasin langsung all out information jadi dibuat implisit biar para readers bisa bebas menebak ^^

Dan yeah, sengaja ganti POV biar ashoy dikit lah, tapi jadinya ngeri kalo readers malah jadi ngerasa nggak nyambung T_T

Aku takut gagal menjelaskan maksud di part ini jadi komentar dan kritik akan sangat aku apresiasi, perubahan chapter masih memungkinkan untuk hasil yang lebih baik

So please don't forget to vomment ^^

I would very much aprreciate it

btw, mulmed kali ini nyomot wajah Lee Jong Suk as Daniel ^_^ the POV in this chapter


With much, much love

FAALIA

#pooff



I know I have lost it now

I knew something was wrong somehow

There's nobody like me

But you're not here, So I'll say good bye

But now I can't even say my thank you...

|Too Late To Say|

Niel mematut sosok dirinya yang terpantul di depan cermin. Jas hitam yang melekat pada tubuhnya sama sekali tidak cocok dipakainya. Sejak dulu Niel tidak menyukai penampilan formal. Pakaian berkerah dan dasi juga terasa seperti mencekik dirinya sehingga di sekolah pun Niel tidak pernah memakai dasinya dengan benar, kecuali saat sidak penampilan di sekolah tentunya.

"Cupu sekali" ledeknya pada diri sendiri

"Daniel ? Apa sudah siap, sayang ?"

Daniel tidak menjawab panggilan Ibunya dan membiarkan suara detak jam yang mengisi keheningan pagi ini. Oksigen di sekitarnya terasa begitu pekat sehingga Niel memaksakan banyak oksigen masuk melewati rongga paru-parunya lalu mengeluarkannya dengan berat hati.

--

"Hei, Niel. Kenapa ya orang yang otaknya mati kemungkinan hidupnya kecil sekali ?"

"Hah ? Pertanyaan ngaco apa lagi ini. Ya pusat kerja manusia di otak kan ? Itu mati organ lain nggak kerja"

"Nggak kerja tapi masih berfungsi kan ? Simpelnya seperti pesawat yang kehilangan pilot, tapi pesawatnya nggak ada masalah"

"Nomer lima yang respirasi aerob, hasil tahap glikolis apa ?" tanya Niel memaksa topik pembicaraan ini kembali ke soal latihan yang tengah digarapnya saat menghadapi Bara yang sudah nggak ketebak lagi imajinasinya lagi ngudik dari sabang atau merauke. Mentang-mentang pinter dari sononya belajar gak perlu mati-matian. Bikin ngiri deh.

"ATPol dan NADHia makan Asam two straight" jawab Bara ngasal tapi masih bisa konek dengan pikiran Niel. Maksudnya, jawabannya adalah 2 ATP, 2 NADH, dan 2 Asam Piruvat. Niel langsung menyilang jawaban pada lembar soalnya lalu bergeser ke soal berikutnya.

"Kalo gitu kenapa nggak didonorin aja ya organnya yang lain ?" lagi-lagi Bara mulai mengada-ngada. Kalau sudah begini Niel hanya akan angkat bahu dan diam saja mendengarkan ocehan Bara selanjutnya.

"Habisnya kan otaknya yang mati lho, kemungkinan sadar itu kecil banget kan ? Aku pernah baca artikel kalau semua sel otaknya sudah mati sudah nggak bisa diapa-apakan lagi, nggak bisa dipulihkan. Terus gimana dengan organ yang lainnya ? otomatis melemah kan karena pilotnya udah mati, pesawat juga kalau dibiarkan terus nggak digunakan juga lama-lama lapuk juga, yah memang bisa sih dengan bantuan mesin pengobatan sejenisnya, tapi keluar biaya nggak tanggung-tanggung. Yang ada bukannya malah menyiksa pasien itu sendiri, ya nggak ?"

"Uh-huh" Niel mendengar sambil lalu dan berusaha mati-matian memfokuskan diri pada soal-soal di hadapannya tapi memang bakat turunan Bara kali ya, setiap kata-katanya sulit diacuhkan, Niel sendiri cukup tertarik dengan topik out of topic yang diangkat Bara kali ini.

"Kalau begitu kenapa nggak donorkan saja organnya untuk orang yang lebih membutuhkan ?"

"Whoa, whoa, dude. Reality nggak segampang loe ngomong. Manusia masih percaya dengan yang namanya mukjizat jadi ada juga kasus dimana mereka rela ngeluarin uang milyaran buat kemungkinan si pasien bisa sadar lagi" akhirnya Niel gagal fokus pada soalnya dan menanggapi Bara dengan serius.

"Anggap saja ada kemungkinan cuma 1%, apa loe mau memperjuangkannya mati-matian ?"

"Depends on situation. Kalo' gue punya shower yang ngeluarin duit cuma-cuma gue bakal perjuangin 1% itu" Niel membalas asal-asalan sambil tertawa

"Seriously ? I'm asking you for real" Bara memasang ekspresi dongkol dan itu mengundang tawa Niel sekali lagi

"Lha loe sendiri maunya gimana ?" tanya Niel memaksa sobatnya itu berpikir dalam-dalam. Niel nyengir melihat betapa seriusnya Bara berpikir. Ayolah, ini hanya topik sambil lalu, bukan soal UN.

"Mungkin... donasikan saja ? I mean for a better usage"

"Bujug gile, Better usage emang batere ?" Niel langsung tergelak hampir bersamaan dengan Bara

--

"And you really did it" gumam Niel lirih sekali. Memorinya akan insiden sepuluh hari lalu itu masih terpatri jelas di kepalanya. Agin malam yang datang membawa dingin menusuk tulang, kedipan lampu lalu lintas di seberang jalan yang beralih dari kuning menuju merah, bayangan mengerikan saat sobatnya dihantam truk besar dan terguling di jalan raya, saat suaranya serak luar biasa karena mati-matian memanggil nama sobatnya itu.

Tidak ada lagi suara jeritan kesal sobatnya yang seringkali Niel jadikan objek penghilang bosannya. Tidak ada lagi orang yang memberinya perhatian lebih seperti sosok kakak kembar untuknya. Tidak ada lagi ocehan panjang lebar yang disebabkan kerja otak sobatanya yang ber-IQ ketinggian itu. Tidak ada lagi ketukan jendela di beranda kamar saat harus menyalin tugas. Semua itu berbalik 180˚ dalam sekejab mata. Sobatnya sudah tidak lagi ada disini.

"Daniel ?" suara lembut ibunya kembali memanggil dari arah pintu kamar Niel.

Niel tidak bergeming di tempatnya berdiri di hadapan cermin yang kini memantulkan sosoknya yang menyedihkan. "Bu, kenapa orang baik cepat sekali perginya ?" tanya Niel dengan suara parau.

Tante Nadia melangkah masuk dan memberi putra tunggalnya itu sebuah pelukan hangat dan mengelus punggung Niel sayang. "Karena yang mekar paling indah-lah yang selalu jadi yang pertama untuk dipetik"

Seolah saling menghibur satu sama lain Niel pun membalas pelukan ibunya erat.

"Ayo kita turun" ajak Tante Nadia sambil mengusap matanya yang juga mulai basah.

Niel menganggukkan kepalanya dengan berat hati dan berusaha setengah mati memantapkan hatinya untuk mengucapkan kata perpisahan terakhirnya untuk sahabat dan saudara terbaik yang pernah ia miliki.



Our Box of FigureWhere stories live. Discover now