| 12 | Emosi

187 10 0
                                    

Amethyst baru saja mem-post foto-foto yang kemarin diambilnya di blog miliknya. Tidak diragukan lagu, Violet yang kukagumi itu adalah Amethyst. Tiba-tiba saja aku kehilangan selera untuk melihat foto-foto yang Amethyst post di blog-nya dan lebih memilih untuh duduk melamun di kursi lipat samping Amethyst. Kursi ini seolah-olah sudah menjadi tempat khusus untukku. Bahkan Opal pun tidak lagi pernah duduk di kursi ini dan lebih memilih untuk duduk di sofa.

"Apa yang sedang kau pikirkan ?"

"... Tidak ada. Aku hanya melamun" jawabku lamat-lamat

"Capek ? Istirahat saja" Amethyst menutup laptopnya dan meletakkannya di atas meja kecil yang berada di sisi kiri ranjangnya. Nadanya terdengar bercanda tapi entah kenapa itu sedikit menyinggungku. Semenjak kunjungan Opal itu entah kenapa aku berubah jadi sensitif

"... Aku tidak bisa" ujarku akhirnya.

"Enaknya, kamu nggak akan merasa ngantuk juga capek" ucap Amethyst tiba-tiba.

Kata-kata Amethyst barusan seolah menyulut lilin di hatiku. Emosiku tiba-tiba saja membara. Aku tau Amethyst hanya bercanda, tapi itu terlanjur terasa menyakitkan bagiku.

"Enak ?" aku langsung berbalik dan menatap Amethyst tajam "Tidak bisa mengistirahatkan pikiran dan terus memikirkan bermacam-macam kemungkinan itu enak ? Aku tidak bisa berhenti berpikir kalau aku mungkin saja sudah mati"

Amethyst langsung terdiam dan menantapku kebingungan. Entah kenapa aku justru marah saat melihatnya begitu. Aku ada disini, kesadaranku terperangkap di tempat ini, jiwaku lepas tak tau arah dan terpisah dari ragaku. Aku tidak tau dimana ragaku saat ini, bagaimana kondisinya ? Apakah masih bernafas ? Atau bahkan sudah terbujur kaku ?. Berbagai macam pikiran itu bersliweran di kepalaku, menimbun kayu bakar yang membuat bara api dalam dadaku berkobar. Bahkan hal-hal kecil yang berusaha kuabaikan selama ini berhasil menguasai emosiku.

"Aku heran padamu, bagaimana mungkin kamu takut tidur ?" suaraku bergetar karena emosi. "Asal kau tau, ketakutanmu itu tidak beralasan, di sisi lain aku sangat ingin tidur meski sekeras apapun aku berusaha aku tetap tidak bisa tidur"

Aah... kulontarkan unek-unekku. Aku terlanjur melewati garis yang tidak seharusnya kulewati. Aku terlanjur mengucapkan apa yang paling tidak ingin kuucapkan pada Amethys.

Amethyst sempat membuka mulutnya untuk menyanggah tapi akhirnya memilih untuk menutup rapat-rapat mulutnya dan menatapku dengan matanya yang basah.

Seketika itu aku dihujam rasa bersalah luar biasa, Apa yang sudah kulakukan ? Apa yang sudah kukatakan ? Aku dengan bodohnya mendobrak janji yang sudah kubuat untuk diriku sendiri. Aku yang sudah menyakitnya. Aku.

Amethyst memalingkan wajahnya dariku, berusaha menyembunyikan air matanya yang mengalir menyusuri pipinya meski aku sekilas sempat melihat butiran air itu jatuh dari sudut matanya.

"Ma, maaf... aku..."

Amethyst menundukkan kepalanya sambil menggelengkan kepala sebelum aku menyelesaikan kata-kataku "Nggak... aku yang salah. Aku minta maaf"

"Nggak. Aku yang salah. Maaf... aku..."

"Bara, maaf... bisa tolong tinggalkanku aku sendirian ?"

Aku terdiam. Bibirku seolah terkunci rapat saat mendengar kalimat pengusiran tidak langsung itu keluar dari bibir Amethyst. Aku merasa sangat bersalah.

Aku melangkah menuju koridor rumah sakit dengan menembus tembok kamar Amethyst. Berhubung jarak terjauh yang bisa kuambil hanya 10 meter dari Amethyst, aku tidak punya pilihan selain berdiri diam di koridor rumah sakit dan memperhatikan pintu-pintu ruang inap rumah sakit yang tertutup rapat seolah mengunciku seorang diri di koridor ini. Aku merasa terkucilkan di dunia ini, merasa diri ini tidak sungguh-sungguh ada.

Aku duduk di atas lantai marmer rumah sakit dan memeluk erat kakiku. Kutenggelamkan wajahku ke dalam telungkup tanganku yang berpangku pada lutut.

"Aku ingin pulang"

Aku mengunci emosiku. Menahannya agar tidak meledak keluar. Aku butuh peralihan pikiran. Aku ingin merasakan dinginnya lantai marmer yang kududuki. Aku ingin merasakan dinginnya AC. Aku ingin merasakan kasarnya tembok. Sungguh, aku tidak pernah serindu ini dengan indera perasaku.

Aku masih ingin hidup. Aku ingin melihat keluargaku lagi. Aku tidak ingin ragaku mati di suatu tempat yang tidak kuketahui. Apa aku terlalu egois ?


Our Box of FigureWhere stories live. Discover now