Matahari sudah lama terbenam dan hanya meninggalkan kegelapan malam. Langit malam hari ini bersih tanpa gumpalan awan yang mengganggu memperlihatkan pernak-pernik langit yang masih malu-malu tampil di panggunya. Yang terdengar olehku hanyalah suara mesin-mesin aneh yang masih terhubung dengan Amethyst melalui kabel-kabel yang kuyakini memang sangat dibutuhkan untuk menunjang Amethyst.
Aku mengalihkan tatapanku dari langit malam dan menatap wajah pucat Amethyst. Seolah seluruh darah di wajahnya disedot entah kemana hingga tanpa sisa. Hidung dan mulutnya ditutupi alat bantu pernafasan. Beberapa helai rambutnya yang mencuat berantakan menutupi dahi dan pelipisnya. Melihat sosoknya yang seperti ini membuatku takut kalau-kalau serangan itu akan terjadi lagi.
Kelopak mata Amethyst tiba-tiba bergerak dan perlahan terangkat. Tatapannya masih kosong menatap langit-langit. Menyadari itu, aku hanya bisa menggigit bibir menahan dorongan diri untuk bersuara keras.
"Hei..." panggilku lirih.
Manik mata coklat Amethyst bergulir ke sudut matanya dan menatapku. Senyumnya tersungging lemah. Ia tampak sangat mengantuk tapi berusaha mati-matian untuk bangun.
"Hei..." sapanya balik. Suaranya yang serak dan mulutnya yang ditutup oleh alat bantu pernafasan membuat suaranya lebih terdengar seperti gerungan.
"Kalau kau masih merasa kurang sehat istirahat saja, aku tetap berjaga disini, toh aku juga nggak bisa kemana-mana" ucapku sedikit bergurau untuk mencairkan sisa-sisa ketegangan.
Sudah 12 jam berlalu sejak serangan terakhir yang dialami Amethyst. Sejak itu Amethyst terus tertidur dan baru tersadar sekarang. Aku mendongak melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam dan kulihat Amethyst juga melihat ke arah yang sama denganku.
"... Siapa anak perempuan tadi ?" tanyaku membuka percakapan. Selama Amethyst tidak sadarkan diri, aku terus memikirkan apa yang sudah dilakukan gadis cilik bergaun biru yang tiba-tiba datang dan tanpa aba-aba mencekik Amethyst seperti itu. Amethyst menatapku sekilas sebelum akhirnya menghembuskan nafas pelan sambil memejamkan matanya.
"Arwah anak perempuan yang meninggal di rumah sakit ini" ucap Amethyst lirih.
Aku bisa rasakan tubuhku menegang saat aku mendengar kata 'meninggal' itu keluar dari bibir Amethyst. "... Kenapa dia melakukan itu ?"
"Karena aku bisa melihatnya tapi aku lebih memilih untuk mengacuhkannya"
"... Kenapa ?"
Amethyst menatapku yang hanya bisa menunduk menatap lantai keramik tanpa sedikitpun menatap dirinya. "Anak itu... dia punya keinginan kuat yang ingin dia lakukan, tapi karena dia tidak bisa melakukannya jadi dia memintaku untuk menggantikannya"
Amethyst terus menatapku memintaku untuk balas menatapnya tapi aku tidak kunjung mengangkat kepalaku. "... Bukannya aku tidak bisa menolongnya, hanya saja saat aku terikat dengan arwah mereka justru menghisap energiku sehingga kondisi tubuhku jadi melemah. Seperti yang kau lihat, aku hanya pasien lemah yang bahkan tidak memiliki energi sebanyak orang normal"
Apa yang baru saja diucapkan oleh Amethyst sukses membuatku tertegun. Apa yang ada di dalam dadaku berkecamuk. Aku seolah bisa merasa mual meski seharusnya aku tidak bisa merasakan sakit fisik. Akulah yang membuat Amethyst seperti ini.
"Ini semua salahku"
Hening. Suasana di ruangan ini mendadak jadi berat. Aku diam seribu bahasa. Leherku seolah jadi kaku membuatku tidak bisa melihat bagaimana raut wajah Amethyst saat ini.
"Kalau kau mau bicara soal ini salah siapa dan perputar di satu titik itu saja, sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa maju sampai kita menemukan solusi atas apa yang sudah terjadi"
YOU ARE READING
Our Box of Figure
Teen FictionTerjebak dalam sosok arwah gentayangan membuat Bara Yudhistira kebingungan. Pasalnya ingatannya sebelum menjadi arwah hanya membekas separuh di kepalanya, apalagi arwahnya terikat dengan seorang anak perempuan indigo sakit-sakitan bernama Amethyst D...