I'll be strong, 'til I see the end
|Glassy Sky|
Suara isak tangis memenuhi ruangan ini. Suara deru AC dan hawa dingin ruangan ini sedikit pun tidak mengurangi suara isak tangis itu.
"Bara... kapan kamu mau sadar ?... cepat bangun nak..."
Siapapun yang mendengar suara itu tentu akan meringis sakit. Pedih didengar. Entah bagaimana aku bisa mengobati pedih itu.
"Bunda... istirahatlah, bunda sudah seharian penuh disini, biar Kaze yang jaga Bara ya, Bunda istirahat saja sekarang"
Suara yang berusaha menghibur itu pun tidak lepas dari rasa pedih. Usapan tangan yang berusaha menenangkan Bunda sama sekali tidak terlihat meyakinkan. Sekuat apapun Kak Kaze meneguhkan diri untuk menghibur bunda, ekspresi wajah dan tatapan matanya tidak bisa menipu.
Aku tidak tau lagi harus berbuat apa selain sesenggukan menahan tangis.
"Bunda nggak bisa... Bunda nggak mau pergi. Sudah hampir seminggu Bara nggak sadar-sadar, Bunda nggak bisa tenang kalau ninggalin Bara disini"
"Bunda... kalau Bunda ikut sakit, Kaze, ayah, juga Bara nggak akan tenang. Jadi sekarang Bunda pulang dan istirahat ya. Kaze janji akan jaga Bara baik-baik, Kaze kan kakak Bara juga" bujuk Kak Kaze dengan suaranya yang makin memelas memohon Bunda agar mau melepaskan genggaman tangannya dari tanganku yang hanya bisa terkulai lemas di sisi badanku.
Bunda mendongakkan kepalanya dan menatap Kaze dengan tatapan sendu. Kak Kaze membalas tatakan Bunda tidak kalah sendu. Wajah bunda pucat dan ada cekungan di wajahnya. Kini Bunda tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya. Air mata Bunda kembali mengalir saat membalas rengkuhan dari Kak Kaze.
"Bunda..." suara serak dan berat itu spontan membuat Kak Kaze dan Bunda menoleh ke arahnya. Kulihat Ayah berdiri di ambang pintu dengan setelah jasnya yang berantakan. Ayah berjalan masuk dan memeluk Bunda juga Kak Kaze sekaligus.
"Reyhan... anak kita, Reyhan..." Bunda kembali terisak keras dalam pelukan Ayah.
"Aku tau Tasha... sekarang ayo kita pulang dan istirahat dulu. Besok pagi-pagi sekali kita akan kembali lagi ke sini, ya ? Biar Kaze yang jaga Bara sekarang"
Bunda mengangguk lemah dan pasrah saja saat Ayah membimbingnya keluar ruangan. Tatapan Ayah dan Bunda terus mengarah padaku hingga pintu ditutup oleh Ayah. Kini tinggallah Kak Kaze dan aku di dalam ruangan ini. Kak Kaze menarik kursi yang ada di sisi ranjang dan duduk di atasnya. Kini tangannya yang menggenggam tanganku menggantikan Bunda. Diangkatnya tanganku dan ditempelkannya ke keningnya.
"Dek... kapan kamu mau bangun ? Cepatlah bangun"
"Kak... aku disini" ucapku sambil terisak. Entah sudah berapa banyak air mataku yang mengalir keluar sejak aku tersadar di tempat ini. Mataku seolah tidak mengenal lelah untuk terus memproduksi air mata yang hanya akan mengalir jatuh dan menghilang begitu saja. Tidak ada yang bisa melihat maupun mendengar suaraku.
Suara alat-alat kedokteran yang rumit mengisi keheningan di dalam ruangan ini. Entah berapa banyak alat bantu yang menempel pada badanku, belasan kabel yang menempel pada badanku seolah tidak membantu banyak. Kepalaku diperban, beberapa luka memarku yang tampak membiru ditutupi oleh kapas berbau etanol. Aku melihat banyak goresan dan luka menganga yang dibalut perban pada tubuhku. Bibirku yang pucat tertutup oleh alat bantu pernapasan. Meski lemah aku masih bisa melihat dadaku bergerak naik turun. Adanya suara dan gerakan grafik naik turun pada layar kaca monitor jantung menunjukkan adanya aktifitas jantung.
Kulihat pundak Kak Kaze bergetar dan kudengar suara isak tangisnya. Air matanya menetes membasahi sprai. Untuk pertama kalinya aku melihat sisi lemah Kak Kaze. Kak Kaze yang kukenal selama ini adalah sosok kakak yang kuat. Sangat pintar dan berprestasi, serba bisa dan selalu ada saat aku membutuhkannya. Ada kalanya aku kesal dengan sikap over protective-nya dan penyakit brother complex akut miliknya tapi itu tidak merubah fakta kalau Kak Kaze adalah panutanku. Kak Kaze selalu ada saat aku membutuhkannya, tapi apa balasanku ? Aku hanya terus merepotkannya.
"Kak... aku disini... kumohon dengar aku" pintaku lirih. Kuulurkan tanganku ke depan dan hanya menembus pundak Kak Kaze. "Maaf... Aku minta maaf..." Aku tidak peduli dengan tanganku yang tidak bisa menyentuh apa pun, aku berusaha merengkuh Kak Kaze dari belakang dan mengucapkan maaf berkali-kali.
Tok tok tok
Kak Kaze sempat berjengit kaget saat suara ketukan konstan itu terdengar dari arah pintu. Buru-buru tangan kanannya mengusap air matanya lalu bangkit berdiri untuk membukakan pintu.
"Selamat malam" sapa wanita berjas putih yang berdiri di depan pintu
"Ah, dokter Laras. Hari ini malam sekali dokter berkunjung. Apa ada sesuatu ?" tanya Kak Kaze setelah melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Sekarang pukul 11 malam.
Aku mendongakkan kepalaku untuk menatap koridor di belakang dokter Laras yang sudah jauh lebih sepi dibanding sebelumnya, bahkan para perawat yang biasa terlihat bersliweran sudah jarang terlihat.
"Apa kita bisa mengobrol sebentar di ruangan saya ? Saya sudah meminta seorang perawat untuk menjaga Bara. Sebentar saja" ucap dokter Laras sambil menyingkir mempersilahkan seorang perawat laki-laki yang tadinya berdiri di balik dinding pintu untuk masuk ke dalam ruangan.
Aku tertegun saat fokus pandangku jatuh pada pemandangan taman di balik dokter Laras. Pusat dari penerangan taman itu hanya deretan beberapa lampu taman yang tidak terlalu terang. Di seberang taman ada banyak ruangan pasien dan kursi panjang yang terbuat dari kayu. Aku ingat tempat itu. Suara gelak tawa dan obrolan yang bersahut-sahutan. Erangan seorang lansia yang ngambek saat perawat memintanya untuk minum obat. Meski tempat itu tampak remang-remang aku masih bisa mengenalinya dengan baik.
"Aku dirawat di bangsal Lavender" gumamku setengah tidak percaya. Itu artinya aku masih berada di rumah sakit yang sama dengan Amethyst.
"Selamat malam, nama saya Fuzi" ucap perawat laki-laki itu mengalihkan perhatianku.
Kak Kaze tidak langsung menjawab dan tampak ragu-ragu saat lirikan matanya mencuri pandang ke arah ragaku yang hanya bisa terbaring lemah tak berdaya di atas tempat tidur. Suara alat-alat kedokteran yang rumit itu terdengar stagnan, tidak ada yang berubah sama sekali. Ekspresi Kak Kaze jelas menunjukkan rasa tidak rela untuk meninggalkan ruangan ini tapi dalam pikirannya ia mengerti kalau yang ingin dibicarakan oleh dokter Laras juga penting.
"Baiklah. Fuzi, boleh minta tolong untuk jaga adikku sebentar ?"
"Ya, tidak perlu terburu-buru. Toh, saya juga perawat senior di sini, Bara akan baik-baik saja dengan saya" ucap Kak Fuzi mencoba mencairkan suasana.
Kak Kaze hanya bisameloloskan senyum kecil sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi mengikutidokter Laras menuju ruangannya.
#OMG Who's up there ?! Who's there ?!
That's Baraaa ^^ look at those innocent smile
I'm teary melted...
But sadly I am not a K-popers so I don't know who that is T_T but I do love his smile :)
YOU ARE READING
Our Box of Figure
Teen FictionTerjebak dalam sosok arwah gentayangan membuat Bara Yudhistira kebingungan. Pasalnya ingatannya sebelum menjadi arwah hanya membekas separuh di kepalanya, apalagi arwahnya terikat dengan seorang anak perempuan indigo sakit-sakitan bernama Amethyst D...