| 13 | Garnet

223 14 0
                                    

Setelah meminta Bara meninggalkanku, aku langsung meringkuk tidur di dalam selimutku. Air mataku terus mengalir tanpa bisa kuhentikan. Aku menyerah untuk menahannya, dan membiarkan air mata itu mengalir dan membasahi bantal yang kutiduri.

Masih segar di ingatanku, wajah marah Bara yang pertama kali kulihat. Aku jelas telah menyakiti Bara. Aku mengerti Bara tidak bersungguh-sungguh saat menumpahkan emosinya padaku, aku yang pertama kali menyakitinya. Tidak sepantasnya aku mengusir Bara seperti itu.

Rasa bersalahku semakin memuncak saat kuingat wajah Bara sebelum ia berjalan pergi meninggalkanku. Aku ingin langsung meminta maaf padanya, tapi hatiku terlanjur sakit saat mendengar kata-kata Bara.

Aku tau hidup manusia tidak ada yang sempurna. Aku beruntung bisa terlahir di keluarga yang serba berpunya, tinggal di rumah yang besar, pembantu rumah tangga yang selalu siap sedia, bahkan sopir pribadi. Aku juga punya seorang kakak yang sangat dekat denganku, Kak Garnet namanya. Tidak ada yang kurang dari hidupku, dan itulah yang kukira tidak akan berubah selamanya, hingga suatu hari, di hari menjelang ulang tahunku yang ke-10, aku tiba-tiba di-vonis memiliki jantung yang lemah.

Saat itu yang terpikirkan olehku hanya rasa bersalah karena telah mengecewakan orang tuaku. Awalnya aku tidak terlalu memikirkannya, bagiku saat itu memiliki jantung yang lemah hanya satu dari sekian penyakit yang sama saja dengan penyakit flu, tidak pernah kuduga serangan pertama yang kurasakan akan membawaku mengenali apa itu rasa sakit saat hendak merenggang nyawa.

Perlahan kebahagianku direbut satu persatu dari genggamanku. Papa dan Mama, teman-temanku, bahkan kebebasanku. Satu-satunya orang yang masih bertahan berada di dekatku hanya Kak Garnet. Kak Garnet selalu ada saat aku membutuhnya, Kak Garnet selalu siap jadi tempatku mengeluh, Kak Garnet selalu memberiku apa pun yang kumau. Berada di dekat Kak Garnet sudah menjadi hal yang wajar bagiku, Kak Garnet ibarat udara yang selalu bisa kuhirup kapan pun kumau, selalu ada di sekitarku.

Tapi sekali lagi kusadari, semakin sedikit waktuku yang tersisa, aku tidak lagi bisa menggenggam lebih banyak hal, hal itu rupanya berlaku pula untuk Kak Garnet. Aku tidak mungkin merantai hidup Kak Garnet, aku tidak berhak untuk mengikat Kak Garnet.

***

Hari itu, di usiaku yang ke-14 tahun, dan Kak Garnet beranjak usia 18 tahun, Kak Garnet akan pergi melanjutkan studinya, pergi meninggalkanku. Inikah waktu yang tepat untukku membiasakan diri dengan kesendirian ?

Aku mulai berpikir kalau aku bukanlah tokoh utama dalam hidupku sendiri. Entah bisa kusebut hidupku sendiri atau bukan. Aku bisa berdiri di sini karena Papa dan Mama. Bukan pilihanku sendiri untuk bisa hidup. Aku tidak pernah minta dilahirkan, apalagi di tempat ini. Mungkin hal ini juga dipikirkan oleh sebagian orang. Mungkin juga makhluk kecil yang tergeletak tak berdaya ini sempat memikirkan hal yang sama sebelum ajal menjemputnya.

"Aah, sudah mati ya"

Aku mendongak. Kak Garnet tiba-tiba saja sudah jongkok di sampingku hanya memakai singlet dan celana pendek. Rambutnya acak-acakan khas orang baru bangun tidur. Ada bekas air liur yang mengering membentuk sebuah tanda panah di pipi kanannya. Apa Kak Garnet yang seperti ini sungguh bisa mengurus diri sendiri nanti di Jogja ?

Aku menghela nafas pendek dan tidak kuperhatikan lagi Kak Garnet selagi menuangkan sisa air dalam ember kecil yang kujinjing ke pekarangan rumah. Kak Garnet mengambil jasad burung gereja yang kutemukan terbaring di atas pot pohon jerut nipis milik Mama lalu membawanya ke dekat tanah pekarangan. Kak Garnet meraih sekop di atas paving dekat tempatnya jongkok dan mulai menggali lubang kecil untuk si burung gereja. Kuperhatikan saja gerak-gerik Kak Garnet saat mulai menimbun tanah untuk menutup lubang makam burung malang itu.

Our Box of FigureWhere stories live. Discover now